Aroma roti panggang yang begitu lezat dan nasi yang masih hangat, mengepulkan asap. Aku terduduk diam hanya menatap mangkuknya. Nasi yang telah menjadi bubur di depannya, dalam genggaman seorang wanita. Dia adalah ibu Aren, rambutnya panjang lurus terguling di belakang dengan kacamata rabun di wajahnya. Menatapku dengan penuh kasih sayang di kamar rumah sakit.
"Ini di mana?" tanyaku bingung.
"Ini di rumah sakit, maaf ibu membuatmu terkejut." Ibu Aren menyendok bubur nasi dari mangkuknya.
Pandanganku menatap kosong jendela rumah sakit yang indah dengan cahaya langit biru. Wanita yang ku panggil dengan sebutan ibu kini menyuapiku bubur nasi. Sebenarnya sedikit ragu namun, aku harus bertahan dan melakukan setidaknya sedikit untuk membuka mulutku.
"Argh!"
"Ada apa?" tanyanya.
"Kepalaku sangat sakit," jelasku.
Lalu tidak lama kemudian datanglah ayah dengan seorang pria. Kali ini panggil aku Aren, seorang wanita dalam diam yang tidak ingin berbicara. Darah yang ingin meledak dan mencabik-cabik pemiliknya, seperti itulah keadaanku.
Sangat bahagia dan terharu, namun semua seakan mimpi. Melihat kakak yang mendadak tersenyum bahagia.
Menampar kesunyian atau memang semua keadaan ruangan ini menjadi riang? Oh, aku tahu kemarin ayah telah menyiramkan air kemerahan padaku. Sehabis mabuk berat lalu membentak kakakku.
Namanya Marka Santiana. Seperti nama neraka, ia adalah panutan hidupku satu-satunya. Seorang wanita yang menjadikan diriku beban bawaan. Dia bekerja di perkantoran, dengan misi rahasia. Itu penjelasannya, meski aku sedikit bingung.
Mereka berkata, ayahku sebagai dokter baik hati. Dan pria di samping mereka, Rian sang malaikat.
"Dia yang menyelamatkan anakku, aku sangat berterima kasih." Ayah tersenyum dengan riang.
"Tidak masalah, ini sudah menjadi tanggung jawab saya."
Rian menjawab dengan senyuman. Menatapku dengan tajam tetapi rasa hangat yang masih ada. Kakak dan ibuku saling berpandangan, mereka ikut menyambut Rian.
"Siapa kamu?" tanyaku lagi dengan panik.
"Aku orang yang menyelamatkanmu."
"Dari apa?" tanyaku lagi.
Keluargaku terdiam dan membuka kantongan plastik putih di depanku. Sekotak kue coklat yang indah mereka keluarkan. Aku terdiam menatapnya, lalu Rian berkata, "Hari ini adalah ulang tahunmu, kamu telah lama menjalani perawatan di rumah sakit."
Tanpa menjawab pertanyaanku, mereka mengalihkannya dengan hal manis. Aku menatap kembali ke arah jendela serta melihat air mancur di bawah sana, masih indah dan tampak cahaya matahari menyinarinya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Marka.
"Kakak tidak kerja hari ini?" tanyaku.
"Dirimu sedang sakit, tentu kakak khawatir."
Ayah menyalakan api di atas kue lalu tersenyum. Ibu meletakan mangkuk bubur di atas meja di samping ranjangku.
Keadaan saat itu adalah titik bahagiaku. Namun aku sangat senang, menikmati keindahan sesaat yang ada dala genggaman. Mulut itu kini tidak terdiam dalam jahitan benang, warna merahnya hanya sebatas keinginan. Lukisan di tiap lantai tua di sana, rumah sakit ini akan menjadi seperti itu kan? Di lupakan.
1567"Aren belum tidur?" tanya Ibu.
"Belum Bu, di luar dingin."
"Ya sudah hati-hati, di luar jalannya licin!"
Suara air yang mengalir deras di setiap sela telingaku. Dering telepon juga belum berbunyi, ini hari pertama ayah bekerja sebagai dokter, ya dokter bedah. Di ruang kerjanya selalu menyiapkan beberapa peralatan, tetapi mulai hari ini lah kecelakaan itu tiba.
Aku terbangun di rumah sakit dengan secarik kertas di atas meja, tertulis di sana angka 1567. Kepalaku menjadi sedikit lebih pusing, hingga beberapa perawat datang meminta diriku untuk berbaring. Semua keluargaku begitu cemas, ayah pamit untuk kembali ke pekerjaannya sebagai dokter. Sementara Ibu menyuapi semangkuk bubur hangat, aku melihat Kak Marka sedang berbisik di telinga Ibu, walau aku tidak terlalu mendengar percakapan mereka. Aku memutuskan untuk diam dan melihat Kak Marka berjalan keluar bersama Rian.
"Ibu Kakak mau ke mana?" tanyaku.
"Mereka hanya ingin mengobrol sebentar," jawab Ibu.
Beberapa sendok bubur telah masuk ke mulutku. Mungkin karena aku terlalu banyak tidur selama seminggu, jadi nasi lembut itu tanpa sadar telah membuatku kenyang.
"Kenapa ayah tampak sangat kelelahan?" tanyaku lagi.
"Aren, ayahmu sangat sibuk, nanti kita lanjutkan urusan dengan kue itu, kamu mau?" tanyanya.
Aku menatap kue di sana. Ya, ini hari ulang tahunku, tetapi ini tanggal berapa?
"Ibu ini tanggal berapa?" tanyaku.
Ibu tersenyum dan berkata, " Satu Juni sayang."
"Kamu tidak ingat banyak hal? Baiklah, kata dokter yang menanganimu, kamu tidak boleh memaksakan untuk mengingat segalanya. Jadi tenanglah." Ibu tersenyum padaku.
"Ibu tidak kerja?" tanyaku sedikit canggung.
"Ibu izin hari ini, lagi pula kamu sakit, jangan terlalu banyak memaksakan diri."
"Ibu apa kemarin pagi ayah keluar?" tanyaku penasaran.
"Tidak, ayahmu sedang sibuk di ruang kerjanya."
Jawaban itu dijawab dengan sedikit senyum. Ibu kembali memotong kue dengan pisau dan tangannya mulai melambat tiba-tiba suara teriakan terdengar darinya.
Auw!
"Kenapa Bu?" tanyaku panik.
"Ah tidak apa, jari ibu hanya tergores pisau."
Aku menatap Ibu yang berjalan pelan keluar pintu, dia tampak tidak menunjukkan tangannya. Aku menatap darah yang masih ada di pisau, namun dadaku perlahan menjadi sesak. Leherku tercekik, aku berusaha meminta tolong namun suaraku tidak mampu terdengar siapapun. Tanpa sengaja aku memecahkan mangkuk bubur, hingga berserakan di lantai.
Tangan-tangan hitam sedang menelanku, menarik tubuh. Isi mataku keluar, ketika lidahku di ikat ke belakang, pinggangku di putar. Aku mulai berteriak kesakitan.
Kutatap dalam gelap beberapa orang datang dan menyuntikkan sesuatu ke lenganku. Hingga aku mulai melemah dan membaringkan tubuhku, tubuhku bergetar ketakutan. Seakan aku ingin mengingat banyak hal, tetapi aku tak mampu mengingatnya.
Ibu kembali dengan tergesa-gesa ia datang dan mengusap kepalaku, beberapa perawat membersihkan sisa mangkuk yang pecah. Aku melihat dahi Ibu yang terluka, sesaat pandanganku kembali kabur, bau obat dan Susana rumah sakit mulai menjauh. Membawaku dalam.mimpi yang mengerikan.
"Aren bukan anakku!" bentak Ayah.
"Sudah aku bilang beberapa kali, tidak usah merawatnya!"
"Tetapi dia anak kita!" bantah Ibu.
"Bohong! Aku lihat kau bermesraan dengan si pria itu, bagaimana mungkin kau bisa menjadikan Aren sebagai anakku?"
"Ayah, jangan bertengkar lagi dengan Ibu," pintaku.
"Enggak sayang, Ayah hanya bermain-main saja."
"Awas jika kau tidak segera membuang anak ini!" bisik Ayah kepada Ibu.
"Ibu jangan menangis ya?"
****
Deg!
Apa aku mati? Jantungku rasanya tidak berdetak. Apa ini rasanya tidak bernapas? Apa seperti ini rasanya untuk diam diantara keduanya. Pura-pura tidak tahu segalanya, hingga menempatkan rasa sakit itu di hati. Tanpa khawatir, ya tentu! Ini adalah rasa kematian. Darah di dahi ibuku, bagaimana bisa?
Kepalaku pusing, ketika gambaran itu kembali teringat. Seperti acara televisi yang benar-benar rusak dan kacau, kembali menayangkan memori buruk yang bahkan tidak mampu ku ambil. Apa yang terjadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Who Are You On My Memories?
Roman pour AdolescentsAku baru saja kehilangan bagian dari diriku. Bukan sekedar harga diri, tetapi juga ingatan. Tanganku berdarah menahan pisaunya. Hujan deras mengguyur tubuhku dan perih di telapak tangan. Semua ini hanya mampu ku tahan, cukup untuk diriku saja. Bagai...