41

940 158 0
                                        

Sesampainya di rumah, Alana segera pergi ke kamarnya, mengabaikan tatapan penuh tanya dari bundanya.

"Dia kenapa, Gar?"

Edgar menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung mau memberi penjelasan pada bunda Alana.

***

"Oh, gitu ceritanya." Bunda Alana menghela nafas berat.

"Iya, Bun. Kayaknya dia sedih banget." Edgar menatap ke arah pintu kamar Alana yang tertutup rapat.

"Gar, Bunda bisa minta tolong, nggak?"

"Minta tolong apa, Bun?"

"Kamu hibur dia, ya?  Bantu dia melewati semua ini." Bunda Alana menepuk pundak Edgar dan menatapnya penuh harapan.

Sebenarnya tanpa diminta pun Edgar akan melakukannya. Ia pasti akan membantu Alana menjalani masa-masa keterpurukannya.

"Iya, Bun. Pasti."

***

Di dalam kamarnya Alana menangis seorang diri. Kamarnya berantakan bak terkena badai lokal. Tisu dan boneka bertebaran di mana-mana.

"Mas Adrian jahat!"

Alana meninju boneka Teddy bear pemberian Adrian.

"Tega banget ninggalin aku, tanpa pamit lagi." Boneka malang itu kembali menjadi sasaran kemarahannya.

"Apa salahku, Mas? Hua ...."

Ia berguling-guling di kasur dengan kesal, kakinya menendang-nendang segala yang ada. Bantal, guling dan selimut berjatuhan karenanya.

"Mas Adrian jahat! Mas Adrian jelek! Hua ...."

Bunda dan Edgar panik mendengar tangisnya yang histeris. Mereka berdua saling pandang.

"Bun, apa nggak sebaiknya kita masuk?"

"Biarin aja dulu, biar dia ngerasa lega," cegah bunda Alana.

Edgar hanya bisa mengangguk sambil menghela nafas berat. Brengsek sekali si Adrian, tega-teganya dia meninggalkan Alana begitu saja, Edgar merasa sangat geram. Tanpa sadar ia mengeratkan kepalannya, hingga buku jarinya memutih.

"Mas Adrian, hua ...."

Tangisan Alana masih terdengar, kali ini semakin melengking dan menyayat hati. Bunda Alana hanya bisa menggelengkan kepala perlahan.

"Gar, Bunda tinggal bikin pisang goreng dulu, ya?"

***

Seminggu sejak kepergian Adrian ....

"Lan, makan." Edgar menyuapakan sesendok nasi kepada Alana, sudah dua hari gadis itu menolak makan.

"Gue nggak laper, Gar." Alana mendorong tangan Edgar, melihat nasi saja membuat perutnya bergejolak.

"Kata Bunda dari kemarin lo belum makan." Edgar khawatir dengan keadaan Alana, gadis itu punya riwayat sakit magh.

"Gue nggak mau, Gar. Semua makanan terasa pahit di lidah gue." Alana berbaring dan menutup mukanya dengan selimut. Edgar menghela nafas karena frustasi, entah bagaimana lagi membujuk Alana.

"Apa mau makan yang manis-manis? Puding gimana?" bujuk Edgar.

"Gue nggak suka puding, Gar."

"Kurma?"

"Lo kira lagi buka puasa?"

"Makan, Lan. Nangis juga butuh tenaga. Minum yang banyak biar lo nggak dehidrasi, lo kehilangan banyak cairan karena keseringan nangis."

"Biar aja, Gar. Mau gue mati juga mas Adrian nggak peduli."

"Ngomong apa lo? Emang dunia lo isinya Adrian doang? Ada gue, ada bunda juga. Lo nggak mikirin kami?" Edgar marah mendengar perkataan Alana yang seolah dunianya telah runtuh, hanya karena ditinggal Adrian.

"Habis ... Habis gue sedih banget, Gar! Hua ...." Alana kembali menangis histeris.

"Udah, jangan nangisin dia lagi. Udah bergalon-galon air mata lo yang keluar buat nangisin cowok brengsek kayak dia." Edgar menghapus air mata Alana dengan telaten.

"Tapi ... Tapi gue nggak tau di mana salah gue, Gar! Dia main ninggalin gue gitu aja." Alana bicara sambil sesenggukan.

"Lo nggak punya salah, anggap aja dia cowok brengsek, udah."

"Ta-tapi, Gar ...."

"Lan, gue sedih banget liat lo kayak gini. Mana Alana yang dulu? Alana yang kuat, yang ceria ...."

"Jiwa gue terluka, Gar! Terluka karena cinta ...." Alana meratap lebay, Edgar merasa jengah dengan ulahnya.

"Bulshit!"

"Karena lo cowok, lo kerjaannya nyakitin cewek, sama kayak mas Adrian! Emang ya, di mana-mana cowok 'tuh sama aja." Alana marah dan meninggalkan Edgar ke kamar mandi.

"Kok malah jadi gue yang kemusuhan?" Edgar menggaruk tengkuknya, merasa bingung dengan tingkah Alana yang labil.

Teman Tapi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang