46

865 151 1
                                        

"Bunda nggak pulang?" Edgar mengamati wajah wanita itu yang terlihat pucat dan kelelahan.

"Terus siapa yang nungguin dia, Gar? Paul juga besok kerja." Bunda berkata sambil sesekali menguap. Memang dari kemarin ia seorang diri menunggui Alana dan hanya sempat tidur sebentar-sebentar karena Alana rewel terus. Gadis itu memang sangat manja kalau sedang sakit.

"Biar aku aja yang nungguin dia, Bun." Karena kasihan Edgar menawarkan diri untuk menjaga Alana. Lagipula ia tak tenang jika harus meninggalkan bunda sendiri.

"Tapi, Gar, emang kamu nggak papa? Kamu nggak sibuk?"

"Nggak, Bun. Aku nggak ada kegiatan apa-apa di rumah."

"Kamu nggak ikutan UMPTN?"

"Aku belum mutusin mau kuliah di mana, Bun." Edgar tersenyum dipaksakan. Ia terlalu sibuk memikirkan Alana, sampai-sampai ia melupakan dirinya sendiri. Ia tak pernah memikirkan akan memilih jurusan apa, kuliah di mana. Bisa dibilang ia tak punya bayangan ingin jadi apa.

"Rundingkan sama mama papa kamu, Gar." Bunda menepuk pundak Edgar. Ia tau saat ini Edgar bingung menentukan masa depannya, kedua orang tuanya mungkin tak mau ambil pusing dengan kuliahnya, mereka taunya hanya membiayainya saja.

"Menurut Bunda, sebaiknya aku ngambil jurusan apa?"

"Kamu senangnya apa? Emang kamu nggak punya cita-cita pingin jadi apa?"

Edgar tampak berpikir, apa cita-citanya? Waktu kecil ia sempat ingin menjadi pilot, tapi ia urungkan. Kalau ia menjadi pilot artinya ia harus meninggalkan Alana. Ia tak mau berpisah dari gadis itu. Yang ada dipikirannya hanyalah mengikuti gadis itu, sekolah disekolah yang sama, jurusan yang sama, kuliah di fakultas yang sama.

Ia baru sadar, selama ini dunianya hanya berputar tentang Alana, Alana dan Alana saja.

"Aku nggak tau mau jadi apa, Bun."

"Gimana kalau dokter? Nanti kalau bunda sakit kamu yang obatin."

"Bunda nggak boleh sakit. Bunda pasti sehat terus, nggak akan sakit."

"Namanya juga manusia, Gar. Masa nggak bisa sakit. Komputer aja bisa kena virus."

"Emang aku bisa jadi dokter, Bun?"

"Bisa aja kalau kamu mau. Coba dulu."

"Kayaknya nggak bisa, otak aku pas-pasan. Aku nggak suka belajar, pasti sekolahnya lama juga."

"Yah, sayang sekali. Padahal Alana mau ngambil jurusan kedokteran."

"Hah? Masa, Bun? Bukanya dia mau ambil jurusan arsitektur?"

"Kayak nggak tau dia aja! Kemarin pas dia sakit dia 'tuh ngeluh mulu. Katanya sakit nggak enak, bla bla bla. Terus dia bilang mau ambil jurusan kedokteran kalau udah sembuh."

"Hah? Bisa gitu?"

Edgar heran melihat kelabilan Alana, bunda hanya bisa mengangkat bahu mendengar pertanyaan Edgar.

Dalam hati ia memantapkan hati, baiklah, ia juga akan mengambil jurusan kedokteran. Sebenarnya ia bukan tipe anak yang bodoh, ia lumayan pintar saat SD dulu. Karena orang tuanya tak begitu memperhatikan dirinya, makanya ia menjadi anak yang pemalas.

Buat apa capek-capek belajar kalau tidak ada yang mengambil raport. Toh orang tuanya tak akan peduli berapa nilai yang ia dapatkan, asal ia naik kelas mereka tak akan protes.

"Bunda nggak ngantuk? Bunda tidur aja, biar aku yang jagain Alana."

"Emang nggak ngerepotin?"

"Repot apa, sih, Bun? Kayak sama siapa aja."

"Ya udah, Bunda tidur bentar, ya. Ntar kita gantian jaga."

Bunda Alana merebahkan tubuhnya di sofa. Dalam sekejap beliau sudah terlelap, tampak sangat kelelahan. Edgar trenyuh melihat wajah lelah yang sedang tertidur itu.

***

Edgar duduk di sisi ranjang sambil menatap wajah Alana yang tampak tenang. Ia menyingkirkan beberapa anak rambut yang turun ke dahi Alana. Ia kaget karena tiba-tiba Alana membuka matanya. Alana juga kaget melihat Edgar ada di sampingnya.

"Gar, lo?"

"Iya, gue di sini."

"Gar, maafin gu ...."

"Udah, nggak usah dibahas." Edgar memotong perkataan Alana. Mereka berdua diam. Hanya terdengar bunyi jarum jam. Alana sesekali melirik ke arah Edgar.

"Lo kenapa, hem?"

"Magh gue kumat."

"Lo nggak kasihan sama bunda?" Edgar mengarahkan dagunya ke arah bunda yang sedang tertidur di sofa. Alana tak menjawab, ia hanya menundukkan wajahnya.

"Gar, gue tadi malam mimpi ketemu mas Adrian."

"Lo kangen banget sama dia?"

"Namanya juga mantan."

"Gue nggak pernah 'tuh kangen sama mantan gue!" sindir Edgar.

"Beda, lo 'kan nggak serius sama mereka. Kalau gue 'kan serius."

Bulshit! Biar serius juga endingnya di-ghosting, pikir Edgar.

"Gue akan antar lo nemuin dia."

Alana terkejut mendengar janji Edgar. Ia mengguncang lengan Edgar untuk memastikan.

"Hah? Beneran, Gar?"

"Tapi ada syaratnya!"

"A-apa?"

"Lo harus sembuh dulu, terus berat badan lo harus naik lima kilo."

Alana merasa kesulitan memenuhi permintaan Edgar. Saat ini makan adalah salah satu aktivitas yang paling dibencinya.

"Gimana caranya, Gar?"

"Ya lo makan yang banyak lah."

Teman Tapi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang