Pertemuan dan si pembawa sial

180 46 522
                                    

Dua hari setelah berkelahi dengan tiang listrik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua hari setelah berkelahi dengan tiang listrik. Akhirnya Arya menemukan tempat menetap tidak jauh dari universitasnya. Entah dengan bakat dramanya atau mungkin sang pemilik kosan berhasil dijampi oleh sang maba. Intinya kini ia sedang berada di mobil Kris. Ingin sekali sebenernya melihat tokoh utama kita diculik, tapi apa boleh buat Kris terlalu baik untuk jadi penculik.

"Om-om, kok jauh banget, sih? Katanya bentar tadi. Ini saya beneran nggak dibawa ke tempat kosong buat dimutilasi, kan?"

Kris hanya tersenyum melewati semua rasa sakit yang harus ia lalui sekarang. Pasalnya membawa Arya sudah seperti membawa sebuah penyakit menahun yang tak kunjung sembuh. "Ini kita mau ke sekolahan dulu, Ya. Mau jemput adik saya."

"Oh, bilang, dong, Om!" Padahal ini ketiga kalinya Kris mengatakan hal tersebut. Salah Arya sendiri uang THR kemarin ia belikan baju dibandingkan satu pak korek kuping atau check-up ke dokter THT.

"Ya, saya mau nanya sesuatu sama kamu."

"Bentar Om ada tarifnya kalau mau nanya. Kalau nanya kenapa saya gendutan seratus ribu. Kalau nanya seputar love life saya dua ratus ribu. Kalau basa-basi, sepuluh ribu, deh, per topik."

"Gaada yang gratis, nih?"

"Ada dong! Kalau nanya ukuran baju saya, ukuran sepatu, sama nomor rekening saya, hehe." Jika saja Kris melihat ke belakang dan melihat senyum Arya sekarang. Mungkin ia akan menelantarkan pemuda itu di Tol Cikampek. Tepatnya KM 97.

"Kamu kenapa milih kuliah di luar kota? Dari lihat kata-kata kamu tadi sama pas di rumah sakit, kamu kelihatan stress banget, ini pelarian, kah?"

Arya tersenyum simpul. Ini memang sebuah pertanyaan yang tidak bisa dihindari. Dirinya memang seperti buku yang sudah dibuka. Ia tidak pernah menutupi apa yang ia rasakan dan mengekspresikan dirinya sendiri. Namun, itu semua berubah jika Arya ada di rumah.

"Om, pernah nggak, sih, ngerasa rumah Om sendiri itu bukan rumah. Tapi cuman tempat buat istirahat aja gitu nggak lebih."

"Pernah," jawab Kris sambil melihat ke arah kursi belakang di mana Arya duduk.

"Iya, itu yang saya rasain, Om. Saya gak betah di rumah. Aneh, tapi entah kenapa saya lebih enak di luar kumpul bareng temen, pokoknya di luar aja gitu."

"Gak aneh, kok. Banyak orang yang gitu juga, Ya. Mungkin kamu belum ngerasain dapet value kamu di sana, kamu belum ngerasa keberadaan kamu itu diapresiasi. Kamu belum nemu apa arti keluarga itu sendiri."

Tidak ada respons dari penghuni jok belakang. Lelaki itu menelan bulat-bulat semua perkataan dari Kris. Ia merasa agak sedikit sakit di bagian dada.

Gak boleh nangis, gak boleh nangis, pliiiiis harus kuat, harus kuat. Belum masuk jam overthingking astaga.

Namun serangan kata yang datang dari yang lebih tua sangat ampuh sampai-sampai hujan mulai turun di wajah Arya.

"Lah, lah, kamu jangan nangis dong, Ya! Duh, duh. Lain kali saya gak nanya yang gini-gini lagi, deh." Kris benar-benar panik saat itu juga. Ia lupa menaruh kotak tisu di mana. Mobil yang mereka kendarakan juga jadi tidak terkendali.

Kosan JayapuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang