nyalakan

8 7 0
                                    

🥀

Sinar matahari masuk melalu celah jendela kamar. Bunyi bising kendaraan berlalu lalang di bawah sana terdengar samar dari lantai 3 kost 36 ini.

Setelah tidur belasan jam ku pikir saat bangun badanku akan terasa membaik, tapi ternyata tak ada perubahan, masih sakit seperti habis turun gunung.
Lakha sialan.

Oh ayolah, lupakan manusia itu sejenak dan pergi cari makan karena perutku sudah meronta minta diisi.

Merasa lebih baik setelah mandi dan berpakaian, aku meraih handphone dan memasukkan uang dua puluh ribu ke casing belakang untuk membeli sarapan.

Untuk sarapan pagi ini, aku membeli nasi campur di warung yang letaknya tak terlalu jauh dari kost. Cukup menyebrang jalan raya, belok kiri, dan lurus, nanti ada plang bertuliskan Warung Bu Eci.

Setelah membayar sebesar lima belas ribu, aku membawa bungkus plastik sumber hidupku menyebrang jalan. Aku melihat seorang pria duduk di atas motor sambil memegang handphone. Tak sengaja ia mengalihkan fokus dari handphone hingga pandangan kami bertabrakan.

Sial.
"Aku baru aja mau telepon kamu." Ujar pria itu sambil turun dari motor dan mendekatiku.

"Dari mana?" Lanjutnya.

"Beli sarapan," balasku malas sambil membuka gerbang kost. Dia terus mengikutiku sampai di kamar dan langsung merebahkan badannya di atas kasurku.

"Kenapa?" Tanyaku jengah melihat dia terus menatapku lekat.

"Kangen kamu," balasnya cepat. Dasar bocah.

Ini dia, Lakha. Bocah kelas dua SMA yang pernah kuceritakan.

"Zaline, aku kangen," rengeknya dengan suara manja. Suara itu tak cocok sama sekali dengan badannya yang laki banget.

"Terus?" Tanyaku datar.

"Cium, peluk."

"Meh, aku mau sarapan. Laper." Tak ambil pusing dengan rengekannya aku membuka bungkus nasi dan mulai menyuapkan nasi ke mulut.

Eh?
Sedikit terkejut aku merasakan perutku dipeluk dari belakang dan bahu kananku terasa berat karena pelaku pemelukan meletakkan kepalanya ke bahuku.

"Kangen banget." Ujarnya pelan dengan suara serak.

"Kamu sakit?" Tanyaku agak cemas. Kumohon jangan sakit. Kalau sakit manusia ini bisa sepuluh kali lebih manja dari sekarang.

"Nggak, cuma kangen kamu."

"Kangen ini juga," lanjutnya sambil meremas pelan payudaraku.

Oh sial.
Ini dia Lakha.

"Stop! Aku lagi makan. Aku juga masih capek!"

"Iya iya. Maaf, aku salah. Salah kamu juga kenapa gak stop aku kemaren, kan jadi keterusan main sampe pagi.'' Balasnya tak mau kalah.

"Hello bocah, aku udah bilang stop dari kamu masi pegang dadaku, aku juga bilang ada ujian besok tapi kamu gak dengerin!"

"Jangan panggil aku bocah!" Seru Lakha tak terima. Seakan gak peduli aku terus menyendokkan nasi ke mulutku.

"Aku juga mau yang," ujarnya pelan. Tanpa banyak kata aku menyendokkan nasi ke mulutnya yang disambut dengan ekspresi riangnya. Begitu terus sampai sebungkus nasi campur habis.

---

Kutatap langit-langit kamar cukup lama, lalu kualihakan pandangan ke luar jendela kamar. Warna oranye mendominasi langit, tandanya sore telah menyapa, tapi pria disampingku tak kunjung membuka mata.

Bulir-bulir keringat di dahinya mulai turun. Ah ya, aku baru ingat AC kamar masih mati. Setelah ku setel ke angka paling dingin, aku membangunkan pria disampingku.

"Kha, Lakha, bangun." Ujarku sambil menggoyangkan lengannya.

"Bangun, udah sore," lanjutku saat tak ada balasan dari Lakha.

"1....2....," ucapanku terputus karena terkejut saat kepalaku ditarik ke arah bawah ketiaknya.

"Apasih yang, kenapa emang kalo sore. Mau lanjut ronde ke 3 kamu?"

Shit. Mulutnya minta dicium, eh ditabok!

"Bau ih!" Protesku saat dia tak kunjung melepas pelukannya, dan membuatku terjebak di bawah ketiaknya.

"Biasanya juga suka, nagih terus pengen cium ketiak aku."

Huh. Manusia bodoh mana yang suka mencium ketiak orang lain.
Huh.
Aku manusia itu. Hiks.

Nggak bohong, ketiaknya wangi banget, gak kayak bau badan temanku sewaktu aku SMA. Anak SMA sekarang apa pada ganteng gini ya ketiaknya. Huuh.

"Aku laper." Ucapku pelan.

"Hahaha.. ngomong dari tadi dong Lin. Oke aku order online aja ya. Mager keluar." Balas Lakha.

"Hmm.. Aku dua porsi."
Lakha tertawa lepas saat mendengar permintaanku. Namanya juga laper banget, satu mana cukup.

"Ada yang laper banget nih kayaknya." Ejeknya.

"Kamu yang lebih banyak abisin sarapan aku! Mana gak makan siang gara-gara kamu gak mau berhenti. Pokoknya aku gak mau tau, dua porsi buat ganti tenanga aku yang kamu abisin!" Balasku tanpa jeda.

"Kalo aku beli tiga porsi buat kamu, tapi kita lanjut ronde 3 gimana?" Tawarnya.

"GAK MAU! AKU CAPEK! LAPER!"

Paralel LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang