🥀
Makhluk laknat bernama Lakha baru saja pulang setelah ku ancam tak ada lagi jatah untuknya seminggu kedepan. Sesegara mungkin ia mengemas barangnya dan pamit dengan wajah cemberut.
Bocah yang tak pernah mau dipanggil bocah itu susah sekali dibujuk. Meski begitu, dia juga bisa menjadi orang yang tak terhalangi saat memperjuangkan apa yang dia inginkan.
Contohnya saja seperti saat dia memintaku -lebih tepatnya memaksaku- untuk menjadi pacarnya, padahal seingatku saat itu adalah pertemuan kami yang kedua. Pertemuan kami yang pertama adalah saat aku sedang makan di warung sate pinggir jalan dekat kampusku.
Aku yang sedang menikmati tusuk sate terakhirku dikejutkan dengan kedatangan seorang laki-laki berseragam SMA yang tiba-tiba duduk didepanku. Ganteng. Itu kata yang terlintas saat pertama kali aku melihatnya. Hidung bangir, bibir seksi, rambut yang tampak halus, dan sorot mata tajam tapi lembut membuatku sempat terpaku beberapa detik. Aku yang sejujurnya masih lapar menjadi agak malu untuk memesan seporsi sate lagi. Cukup lama berperang dengan pikiranku untuk mencari pemenang antara pesan lagi atau tidak, akhirnya aku bangkit dan memesan seporsi sate. Persetan dengan gengsi, yang penting perut kenyang.
Melihatku yang kembali dengan sepiring sate, dia tersenyum miring seakan mengejekku. Aku yang agak sebal melihat responnya menatapnya balik dengan tatapan menantang. Cukup lama berpandangan akhirnya dia memutus kontak mata kami dan menunduk memandangi satenya yang sudah ludes.
Sampai aku selesai dengan porsi keduaku, dia tak kunjung bangkit dari bangku di depanku, padahal makanannya sudah habis sejak tadi. Merasa ada yang tak beres, aku akhirnya menanyakan ada masalah apa, kenapa ia terus menatapku lekat. Akhirnya dengan wajah merah dan suara pelan dia menjawab bahwa dia lupa membawa dompet, dan tidak ada uang tersisa di sakunya. Aku yang tadinya sebal seketika tersentuh dan mengatakan bahwa aku tidak keberatan membayar makanannya. Ia merespon dengan masih menunduk diikuti dengan anggukan pelan. Aku yakin ia sangat malu sekarang. Entah kenapa itu keliatan menggemaskan di mataku. Duh. Boleh bawa pulang gak sih?
---Menjadi anak rantau yang jauh dari keluarga membuatku terbiasa dengan banyak hal yang dulu kuanggap akan mustahil kujalani.
Seperti saat ini, di meja belajarku penuh dengan kertas-kertas tugas pelanggan yang harus kubereskan. Di list yang kubuat juga masih ada 4 tugas yang harus kuselesaikan malam ini. Dua tugas membuat makalah dan dua lagi membuat desain karakter 3D. Hal ini kujalani agar aku mendapatkan uang dan tetap hidup.
Maklum, orang tuaku sudah berpulang 2 tahun lalu, dan aku yang -syukurnya- sadar diri menolak tawaran kakakku untuk membiayai kebutuhanku. Dulu, uang bukanlah masalah besar dalam hidupku. Apa yang aku mau selalu diusahakan oleh Ayah dan Ibuku, walaupun kami bukan berasal dari keluarga berkecukupan, Ayah dan Ibu akan mengusahakan kebutuhan anak-anaknya terpenuhi.
Baru setelah kehilangan keduanya aku mengerti beratnya perjuangan mereka untuk bisa menyekolahkan kami dan memenuhi permintaan kami yang terkadang berlebihan untuk ukuran anak dari Ayah yang hanya seorang karyawan perkebunan dan Ibu yang hanya ibu rumah tangga.
Jasa pengerjaan tugas sudah hampir 2 tahun kujalani. Seusai kepergian kedua orang tuaku, aku langsung memutar otak untuk tetap bertahan hidup di kota orang. Untung saja aku terbantu dengan beasiswa sehingga aku tak perlu membayar uang kuliah, malah mendapat pesangon juga tiap semester. Tetapi itu saja tidak cukup, ada kost yang harus aku bayar tiap bulan dan perut karetku yang harus diisi.
Sejauh ini pekerjaanku terpantau aman meski tak jarang saat terlalu banyak pesanan tugas menumpuk membuat tugasku sendiri tak tersentuh dan berakhir dengan tugas tambahan dari dosen terkait.
Kadang juga karena terlalu serius mengerjar target pesanan, jadwal makan dan tidurku berantakan. Kalau sudah begitu, biasanya badanku akan menyerah keesokan harinya, lalu lusanya aku akan terserang demam.
Untuk urusan sakit sebenarnya aku nggak rewel. Paling-paling kalau sakit aku cuma tidur seharian tanpa minum obat, karena aku yakin kalau dibawa tidur juga nanti pusing dan teman-temannya hilang sendiri saat aku bangun.
Seringkali prediksiku bertentangan dengan kenyataan. Aku akan demam berhari-hari dan hanya rebahan di kasur. Aku juga akan susah dihubungi karena tak punya cukup tenaga. Kalau sudah begitu, Lakha pasti akan menggerebek kostku dan menceramahiku seharian penuh.
Percayalah, dia benar-benar cerewet untuk ukuran bocah SMA. Malahan terkesan seperti ibu-ibu rempong yang marah karena anak kesayangannya pilek setelah main hujan di depan teras rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paralel Line
ChickLitAku nggak pernah punya rencana untuk jatuh sedalam ini pada laki-laki. Belum lagi melihat serangkaian list perbedaan diantara kami yang begitu jelas, kupikir hubungan ini nggak akan bertahan lama. Itu pemikiranku saat awal masa pacaran dengannya. D...