🥀
Sabtu ini Lakha dan aku berencana pergi ke Malang. Aku yang mengusulkan karena merasa sesak dengan udara panas Surabaya, juga sebagai pembalasan karena minggu lalu aku skip join ke Malang sama anak kelas.
Meskipun banyak orang bilang sekarang Malang sudah tidak dingin lagi, bagiku tetap saja ini sekian kali lipat lebih baik dibanding panas menyengat di Surabaya.
Kali ini kami naik kereta. Duduk kok, nggak berdiri. Lakha yang pesen tiketnya tanpa sepengetahuanku.
"Ngantuk?" Tanyaku memecah kesunyian diantara kami.
"Hmm" Jawab Lakha singkat.
"Tidur aja kalo ngantuk. Nanti kalo udah deket stasiun Malang aku bangunin."
"Gak bisa," balasnya yang terdengar seperti orang putus asa. "Nggak bisa tidur kalo nggak peluk." Jelasnya saat mendapati respon bingungku.
"Ckk, manja banget sih!" Dengusku. Meski begitu aku juga mengarahkan kepalanya untuk bersandar di bahku.
Melihat tingkahku, ia tersenyum lebar dengan mata setengah tertutup. "Elus yang," pintanya semakin melunjak.
Tanpa banyak pertimbangan aku langsung mengelus surai hitamnya yang teramat lembut.
Aku masih saja iri setiap kali melihat atau memgang rambutnya yang hitam legam dan super lembut itu. Sampai-sampai aku menanyakan apa merk shampo dan conditioner yang biasa dipakainya, berharap ada versi buat cewek yang bisa membuat rambutku selembut miliknya.
Jawaban yang kudapat kurang memuaskan karena dia bilang cuma pakai shampo yang ada di kamar mandi tanpa lihat mereknya. Besoknya aku meneror dia untuk tak lupa mengecek merk shampo miliknya dan akhirnya dia menyebutkan satu merek yang kutahu harga tiap produk yang dikeluarkan bisa buat makanku sebulan.
Sejak saat itu aku bungkam dan melupakan perihal rambut indahnya. Sebab kalau diingat-ingat, rasanya menyesakkan untuk anak kost miskin sepertiku.
---
"Bangun," ujarku seraya melepaskan lilitan tangannya yang terkait erat di pinggangku.
"Malu ih orang-orang yang mau turun pada ngeliatin kita," lanjutku sambil menjauhkan kepalanya yang menempel di dadaku.
"Bentar, masih ngumpulin nyawa." Balasnya singkat.
"Kamu udah pesen hotel?" Tanyaku saat kami baru keluar dari stasiun.
"Udah, tenang aja yang. Kamu pokoknya fokus sama aku aja. Gak usah mikirin yang lain."
"Dih, orang aku mau fokus sama liburan singkat ini kok," balasku sambil memeletkan lidah ke arahnya.
"Jangan gitu lidahnya yang. Aku jadi pengen." Ujarnya dengan tampang polos yang kubalas dengan tatapan membunuh.
Bocah ini benar-benar tidak tahu tempat.
"Aku pengen pentol, kamu mau juga?"
Tawarku saat melihat gerobak hijau bapak penjual pentol yang menggugah selera.
"Aku maunya bibir yang bekas makan pentol aja."
Puas menyusuri jalan tanpa tujuan menggunakan motor sewaan Lakha, kami singgah di warung bakso yang lumayan dekat dengan hotel tempat kami menginap.
Sebagai pecinta pedas sejati, aku memesan level paling pedas yang ada. Hal itu membuat Lakha menatapku tidak setuju sejak aku menyebut pesananku. Oh ayolah, bukan makan namanya kalau tidak pedas. Memangnya dia, pesannya bakso level untuk anak kecil. Pucat dan tidak menggairahkan sama sekali.
"Lakha, kan?" Suara itu mengalihkan pandanganku dari pesanan bakso yang baru mendarat di meja kami.
Kutatap wanita yang meyebut nama Lakha tadi. Cantik. Rambutnya tergerai bebas, kulitnya putih bersih, bibirnya penuh dan seksi, bajunya melekas pas di badanya yang berlekuk indah. Jangan lupakan kaca mata hitam bermerek mahal yang memperjelas bahwa dia bukan orang biasa.
"Nggak nyangka ya ketemu disini juga," lanjutnya setelah memastikan bahwa yang dipanggilnya benar Lakha.
"Hmm." Guman Lakha sebagai jawaban dari perkataan perempuan itu.
"Ngapain di sini? Kamu sama siapa? Sama temen-temen kamu gak? Oh atau sama Manda?"
"Oh, sama mbak kamu ya. Maaf ya mbak, aku gak fokus tadi." Lanjut perempuan itu berlagak seperti tak melihatku sejak tadi. Padahal aku sebesar ini, tepat di depan Lakha pula. Mustahil dia nggak liat.
"Nggak apa kok, mungkin kacamatanya kegelapan," sahutku dengan santai.
"Oh ya Kha, Manda bilang tadi dia kesepian di rumah. Kangen kamu katanya. Coba kamu chat dia nanti. Eh tapi, kalau mau chat aku aja boleh banget sih." Ujar perempuan nyentrik itu sambil melepaskan kacamatnya dan menggerlikan dengan raut genit ke arah Lakha.
"Karin. Pergi, aku mau makan." Balas Lakha dengan nada berat.
"Huuh. Okedeh, tapi aku serius loh sama omonganku tadi. Byeee" Pamitnya sambil melayangkan kiss bye ke arah Lakha. Melihat itu Lakha hanya menghela nafas panjang.
"Jadi siapa Manda?" Tanyaku setelah hampir mual melihat tingkah perempuan bernama Karin tadi.
"Cuma temen," balasnya singkat. Lakha mulai mengaduk mie dan bakso di mangkoknya. Memindahkan daun seledri dari mangkuknya ke mangkukku. Ah ya, aku lupa pesan tanpa seledri tadi.
"Telpon gih, kayaknya kangen banget tuh." Usai berkata, aku langsung mengambil wadah cabai dan saos.
Kutuang cabai sebanyak mungkin. Mungkin makanan pedas bisa meredakan rasa kesalku. Saat memasuki sendok cabai yang ke 6, sebuah tangan mengehentikanku. Kutatap sang pelaku penghentian dengan tatapan kesal.
"Nanti sakit perut. Udah ya." Ujar Lakha lembut.
Merasa masih kesal, aku memilih untuk menyuapkan bakso ke mulutku. Di suapan pertama aku bisa merasakan pedasnya baksoku. Wow. Ini dia yang aku suka, batinku. Aku mulai bersemangat karena menemukan lagi rasa pedas yang sudah cukup lama tidak kurasakan.
Lakha masih menatapku lekat sambil meringis."Pedes banget ya yang? Jangan dimakan, nanti perut kamu sakit. Kita pesen satu lagi aja buat kamu, tapi jangan pedes ya" Ujarnya perhatian.
Mendengar perkataan Lakha, sebuah ide terlintas di otak brilianku. Aku meletakkan sendok dan mendorong mangkok baksoku ke depannya.
Lakha menatapku dengan tatapan lega, karena berpikir aku akan benar-benar mengikuti perintahnya untuk tidak memakan bakso itu lagi. Saat ia akan mengangkat tangan memanggil mas waiters, aku lebih dulu menyelanya.
"Iya pedes banget. Kamu aja deh yang makan. Aku makan punya kamu aja. Jangan pesen lagi, mubadzir ini." Ujarku lalu menunjuk ke arah mangkokku yang tampak sangat merah. Perpaduan maut antara level paling pedas, ditambah saos dan cabai.
Mendengar ucapanku, Lakha terliat diam dengan wajah pucat pasi. Aku sudah akan tertawa saat tangannya bergerak mendorong mangkoknya dan menarik mangkok baksoku.
Aku terdiam menunggu aksi penolakan selanjutnya. Tapi sampai dia memotong bakso menggunakan sendok, aku belum mendengar rengekannya.
Kini giliran aku yang terdiam dan memucat. Lakha baru saja memasukkan potongan bakso ke mulutnya. Wajahnya yang putih terlihat memerah seketika. Aku benar-benar kehilangan kata-kata.
"Yang," cicitku pelan sambil menatapnya penuh cemas dan rasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Paralel Line
ChickLitAku nggak pernah punya rencana untuk jatuh sedalam ini pada laki-laki. Belum lagi melihat serangkaian list perbedaan diantara kami yang begitu jelas, kupikir hubungan ini nggak akan bertahan lama. Itu pemikiranku saat awal masa pacaran dengannya. D...