19 Maret 2022
Derai hujan senantiasa membumi dikala fajar datang melerai. Mau tak mau yang sedang mengudara menepi sementara, bersama air muka yang tampak suram —layak tertimpa sial.
Pun, dengan Juna. Ia menepi sebab -sialnya- ia tak sedia payung. Lantas ia mengayun pintu kedai perlahan. Tungkainya melangkah gontai, maniknya tak lagi membara. Punggungnya juga tak setegap diawal mula.
"Cappucino sat- sebentar kak," netra Juna berkedip tak sengaja melihat seseorang lalu mengguman nama sang kawan, "Aru?"
Juna mendekat untuk kepastian, "Aru!" Ia berseru, rasanya penat semula menghilang tatkala melihat gadis itu sekarang.
Bersama seruan itu, petir bergemuruh. Aru memekik, dalam batinnya Petir juga punya masalah dengan Juna, rupanya.
"Jun! Pasti lo lupa bawa payung lagi, duh liat lo bahkan nerobos hujan deras gitu. Baju lo jadi basah gini," Aru menatap netra Juna lekat, "kalo lo sakit gimana?"
"Itu gak sebanding sama yang gue rasain, Ru."
Netra keduanya bertemu, tampak Juna tersenyum sementara Aru dibuat linglung.
"Rasanya.. bebas," ekspresi Juna berganti sendu, "lucunya gue bahkan bahagia karena hujan," ucapnya secara jujur.
"Bahagia itu sederhana ya, Ru?"
"Enggak, lo salah Jun,"
Kedua alis Juna menukik heran, "maksudnya?"
"Jun, bahagia itu sifatnya sementara. Perhatikan setiap langkah lo, inget kalo bahagia suka semena-mena sama kita," jelas Aru sedikit mengikat suaranya diatas.
Pada dasarnya Juna itu keras kepala, ia mengelak tak mau kalah, "ya kalo gitu, tinggal nikmatin aja kali."
Sekon kemudian, cakrawala bergemuruh. Layaknya ia tengah marah dan ingin melampiaskan pada siapapun yang menghidup dikala itu.
Dan Aru tahu Dia mendengarnya, dendam cakrawala dengan tidak sengaja bangkit kembali sebab mereka yang membumi.
"Oke, selamat menikmati bahagiamu, Juna."
19 Maret 2021
"Pradugaku benar, Aru akan tertawa diatas kebodohan yang ia buat sendiri."
Nafas Aru tercekat dikala pemuda asing itu melangkah semakin dekat. Sekali lagi, ia tertawa menyerupai dia yang bodoh tapi nyatanya Aru hanya ingin mematahkan ekspetasi pemuda asing itu dengannya.
"Aru,"
"Berhenti menyebut namaku seperti itu."
"Mengapa? Laut tetap membenci matahari dan kamu tahu itu," tangan pemuda itu mengaktifkan gawai yang ia genggam. Lalu, terulur perlahan menuju dimana Aru memandang.
"Dengan bukti ini, masih berpikir bahwa Laut yang membuat Sungai kehilangan arah pulang?"
Hening meraja lela, kini rasanya Aru segan berbicara pada pemuda itu. Mengulang pertanyaan yang sama dan jawaban tak jauh beda dari yang pertam
"Gini Om-"
"Kita seumuran."
Aru meringis, kalau dipandang dari raganya sih nampak seumuran. Tapi, suasananya layak om-om palak diperempatan, "namamu?"
"Gak sudi punya kawan yang berpenyakitan."
"Panjang juga ya, ku panggil kamu kawa-"
Brak!
Meja tak jauh dari Aru terbanting ulah pemuda itu sendiri, "beban lebih baik diam," ucapnya lalu pergi meninggalkan Aru di keheningan.
"Sungai mengalir di arus yang salah."
Di penghujung harapan, rekap yang nyata telah Aru ucapkan dalam keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario ilusi, Renjun
Poesia"Si Nona yang tumbuh dalam imajinasinya." Skenario ilusi | Renjun ft. Ryujin, Asahi. [ Fluff ] © kapucilok 2022 Semi baku, harsh word, end.