23 Maret 2021
"Sudah mengucap salam perpisahan?"
Manik Aru samar terbuka perlahan, ia terlelap entah sejak kapan dan kini tersadar lagi-lagi sebab suara pemuda asing -tunggu bukankah dia adalah, "Asa?"
"Dia memberi tahu namaku- maksudku namanya?"
Kepala Aru kompak menggeleng, "kamu yang ngasih tau namamu sendiri saat itu," benar kan? Bahkan mereka juga kawan yang asing sekarang.
"Perhatikan perbedaannya."
Aru meneliti ingatannya, "sama aja, tampan, lebih suka langsung ke inti, jika sudah itu maka dia lalu dirimu itu pintar dan kita kawan."
Pemuda itu mendelik tak suka, "ganti yang terakhir itu."
Oh dia menolak rupanya, kalimat pemuda itu -sedikit- menyayat hati Aru. Aru menghela nafasnya ketika menyadari sesuatu, "beda gaya bahasa dan,"
"Tragedi 5 tahun yang lalu."
Apa Asa yang sekarang mengetahuinya?
"Sudahlah, kau salah orang. Asa-mu dan aku itu berbeda."
"Tidak lupa dengan acara itu kan, Aru?"
Aru menutup kedua telinganya, suara itu datang lagi dan bertanya hal yang sama beberapa kali. Membentak batinnya tak karuan, siluetnya mendekat lalu tertawa dan mengambil benda tajam-
"Aru? Kenapa? Mau ku panggil dokter?"
Tidak, Aru hanya merasa- deja vu. Apakah hal konyol itu perlu?
"Mana janjimu? Dan-"
"Tragedi itu, 5 tahun yang lalu?"
Kini Asa terdiam merenung atas pernyataan -tepatnya- pertanyaan dari Aru yang kini membenturkan kepalanya ke dinding berulang kali.
"Ini tanggal 23 Maret, Sa? Dan kamu tau itu kan?"
Iya, Asa tahu itu. Bahkan, dia juga berjanji pada sisinya yang lain waktu itu.
"Iya ini tanggal 23 Maret, tapi maksudmu aku- tau apa?"
"Aru, dia berbohong."
Aru bingung untuk percaya pada siapa dan apa yang harus ia lakukan. Sementara ia melihat Asa mengenggam suntikan, bersiap untuk memberi Aru bius dan mendengar suara-
"Aru terlihat bodoh," untuk kesekian kalinya.
"Enggak, gue gak mau! Gue muak sama itu. Jauhin Sa, tolong dengerin gue Sa.. JAUHIN."
Sekon kemudian Asa terdiam, manik cantik itu menjatuhkan hal yang paling berharga dalam sejarahnya.
Asa bisa melihat bahwa Aru tengah berada di penghujung sendu, dunianya rapuh lalu melangkah mundur ke zona nyamannya dan mati 'tuk sekian kalinya.
⠀
"Keluarlah, ambil alih diriku, ikuti skenarionya dan bawa Aru jauh-jauh dari ilusi itu."Asa berbicara pada sisi lainnya, memanggil dengan getir seakan-akan berbicara bahwa ia merelakan bulan miliknya yang paling berharga.
'Bodoh, terus lo sendiri?'
"Mati konyol, itu yang dia mau kan?"
'.....'
Dan perlahan suntikan itu terjatuh, langkahnya mendekati Aru yang kini memeluk duka dan siksa ulah dia. Tangannya mengelus pucuk kepala sang gadis dan memeluknya bentuk dari penenang yang alami.
Sebab, Asa tahu cara itu dapat meluluhkan Aru dan merupakan hal yang sama ia lakukan di 5 tahun yang lalu.
"Ika, ini gue Asa, yang lo bilang kita kawan,"
⠀
"Ikut gue, lo bisa lakuin apa yang lo mau dan yang bisa bikin lo bebas sekarang."Sekalipun harus merengut nyawa. Sebab, Asa tengah mencoba percaya pada sang kembaran bahwa, ia datang untuk pergi dan pergi untuk datang dengan jiwanya yang lebih matang.
Aru terisak dalam pelukan, ia mencoba bertanya meski terbata, "sekalipun gue minta gue mau ngajuin diri sebagai mangsa?"
Asa mengangguk antara yakin atau sebaliknya, "iya."
Pada akhirnya, jika itu memang yang dia dambakan dan Aru akan merasa bebas jika Asa mengabulkan permintaannya, apa boleh buat?
Sekalipun Asa harus menunggu untuk bertanya pada Arunika tentang betapa cantiknya bulan malam itu, hingga waktu mengizinkannya.
END
skenario ilusi
© kapucilok
⠀
𓄹
KAMU SEDANG MEMBACA
Skenario ilusi, Renjun
Poésie"Si Nona yang tumbuh dalam imajinasinya." Skenario ilusi | Renjun ft. Ryujin, Asahi. [ Fluff ] © kapucilok 2022 Semi baku, harsh word, end.