Tentang Gema yang dipaksa belajar ikhlas saat kebahagiannya direnggut secara tiba-tiba. Semesta runtuh tepat di pertengahan malam satu hari terakhir bulan Desember dua tahun lalu.
Gema tak pernah mengira, hidup dalam baluran kebohongan akan lebih me...
"Semesta adalah rumah, tempat pulang dan tempat kita berdiam, penampung cerita juga rahasia yang sering kali tak mampu diungkapkan kepada manusia. Semesta, sudah belasan tahun kamu mendengarkannya bercerita, merekam suka cita jejak langkahnya yang dipenuhi tawa, tanpa tahu, itulah bagaimana dia berbicara tentang luka. Terlepas darimu yang mungkin paham, aku justru menjadi satu-satunya pihak yang awam, tak tahu apa-apa selain keberadaannya yang tak ternilai. Terlalu berharga."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
...
"Bapak mau buat nasi goreng atau nasi panggang ya, pak ya?"
Wanita paruh baya dengan rambut terikat cantik berkacak pinggang melinting lengan bajunya kegerahan. Wangi sedap sarat akan kegagalan menyeruak ke penjuru area kekuasaannya, dapur. Aromanya cukup pekat sampai sepasang suami istri itu bingung memilih udara mana yang harus dihirup. "Yaah, Bun, kan namanya juga belajar."
Arin, Wanita anggun yang tengah bersabar itu menggeleng prihatin menyaksikan suaminya yang terlihat anteng mengeruk arang. Teflon kesayangannya menjadi korban kecerobohan seorang Gemanyu dengan arang tebal yang memenuhi permukaannya. Sesekali pria rupawan yang bertransformasi menjadi tukang cuci piring itu melirik, merasa bersalah. Pasalnya jarang-jarang mereka memiliki waktu luang bersama seharian, selain Gema yang sibuk bekerja di usaha percetakan, Arin juga cukup aktif dengan toko online yang baru saja dibuka beberapa bulan lalu, tak heran waktu mereka menjadi sangat terbatas.
Anak-anak masih di sekolah membuat suasana rumah menjadi sepi, tak ayal pria paling tua di rumahnya itu kebosanan dan mengajak Arin untuk memasak setelah sekian lama, sekedar bernostalgia mengingat masa-masa manis di masa lalu. Padahal jika diingat lagi, dulu Gema tak seburuk ini dengan urusan dapur.
Arin menghela napas sepanjang mungkin, sabar _ sabar, dia tidak ingin menjadi istri durhaka.
"Tapi kenapa harus teflon pink kesayangan bunda?" ungkapnya ditekan selembut mungkin, wajah wanita itu murung membuat Gema merasa menjadi pria paling kejam di dunia. Mulutnya kaku, padahal ia bisa membeli satu pabrik teflon sekalian jika mau.
"Maaf ya, Bun, ayah janji deh ... besok beliin teflon yang sama peeercis seperti pinkynya Bunda." Gema melepas handglove karet yang melindungi tangannya dari detergen lalu mencuci tangan sampai bersih, bermaksud menghampiri Arin yang kini memotong-motong bawang sampai menangis.
"Ayah Gema yang tampan dan baik hati, pinky itu sudah menemani bunda selama bertahun-tahun, umurnya aja sama kaya Abang, mana boleh diganti-ganti sembarangan. Udah ah, sekarang ... pokoknya harus bersih lagi, mau bunda pajang aja di ruang tamu."
"Heh? Serius, Bun? Di ruang tamu?"
"Iya, kenapa? Mau protes?"
"Eheh ngga papa sih, Bun tapi ..."
"Ga mau tau, daripada musnah di tangannya ayah?" Gema jadi ciut sekaligus tak habis pikir, ia mengurungkan niat dan pasrah melanjutkan acara mengeruk arangnya sampai bersih, berharap hal ini tidak akan terjadi lagi. Bisa-bisa kukunya berubah jadi hitam dan retak-retak, si bungsu pasti kecewa hasil perawatan kuku ayahnya gagal. Arin itu sebenarnya wanita yang baik dan lemah lembut, tapi insiden yang menimpa Pinky siang ini berhasil membuatnya menjadi garang. Apakah ibu-ibu semuanya sama?