"Tersenyum memang bisa membuatmu lebih baik, tapi yang lebih istimewa dari sebuah senyuman adalah saat orang lain ikut tersenyum bersamamu, sekiranya itu yang kupelajari darinya hari itu."
- Catatan Gema -
Gema merenung, saat lorong yang ia tapaki terasa lengang dan panjang, riuh putus asa dan lalu-lalang orang tak bisa ia rasakan. Semua hanya terdengar seperti guruh angin lantaran perkataan Laksa masih terngiang ditelinganya. Kenyataan yang mau tidak mau membuat pria itu tidak berhenti memikirkan hal-hal buruk. Jika saja ia bisa menolak takdir, maka ia akan menolaknya dengan tegas.
Bertahun-tahun mereka perjuangkan kesembuhan Loei, menjalani hari-hari dengan perasaan takut dan was-was. Kata sembuh yang mereka terima dua tahun lalu seolah menjadi bayaran untuk segala kesulitan mereka selama ini. Namun, rupanya itu belum cukup untuk menguji seberapa kuat dirinya. Justru penyakit lain datang tanpa peringatan.
Rintik hujan mulai turun, Gema bahkan tak ingat sejak kapan musim penghujan mulai datang. Tetesan air mengalir di permukaan jendela kaca yang selalu terlihat bersih tak berdebu. Langkahnya berhenti, punggung tegapnya bersandar pada dinding berharap itu akan mengurangi rasa penatnya sedikit saja. "Loei~ tolong bantu ayah berdiri, Sayang."
Cukup lama berdiam sampai akhirnya ia kembali menegakan diri di depan pintu kayu berwarna coklat muda. Tangannya bergetar saat hendak memegang knop pintu, belum siap bertemu Arin hanya untuk menyampaikan berita buruk dan melukai hatinya. Belum siap pula melihat wajah tersenyum Loei yang selalu menerima apa pun keadaannya, setidaknya itu yang ia tahu.
Loei tengah melamun memperhatikan jendela saat Gema masuk, sesekali tersenyum melihat hewan manis di balik kaca berukuran besar itu tengah bertingkah dan mencari perhatiannya. Kucing berwarna putih oren dengan ekor pendeknya terlihat gemas ingin menembus kaca lalu menyapa Loei yang sedari tadi memperhatikan. Atau mungkin kedinginan karena hujan mulai lebat di luar sana dan bulunya basah.
Pria paruh baya dengan rambut tersisir ke samping itu terpaku sejenak, mendengar gemercik air dari kamar mandi, ia yakin Arin tengah berada di dalamnya.
Wajah pasi dengan selang oksigen melintang di bawah hidung membuat Gema ingin segera memeluknya. Tubuh itu, tubuh yang selalu ia rengkuh saat gundah, parasnya selalu tersenyum dan menghapus rasa lelah. Hanya dengan melihatnya baik-baik saja Gema sudah cukup, tak masalah jika dihadapkan dengan masalah lain yang terkadang jauh lebih pelik, namun hatinya selalu terasa baik saja.
Tak butuh waktu lama pria itu langsung mendekat dan mendekap tubuh putranya erat. Menghirup dan merasakan aroma menenangkan di tubuh kurus buah hatinya, bahkan dia tak menyadari Loei sudah sekurus ini sekarang.
"Loei lagi apa? Hem?" Anak itu sedikit tersentak dengan kehadiran Gema yang tak disadarinya, dan lagi panggilan Loei terdengar sedikit aneh karena tak terbiasa. Setelah Ruby lahir, mereka memang sengaja membiasakan diri memanggil Loei kakak agar dituruti si bungsu, Gema akan memanggil dengan namanya di saat tertentu, ketika mereka hanya berdua atau sedang merasa sedih. Selebihnya tak pernah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kakak 🌻
General FictionTentang Gema yang dipaksa belajar ikhlas saat kebahagiannya direnggut secara tiba-tiba. Semesta runtuh tepat di pertengahan malam satu hari terakhir bulan Desember dua tahun lalu. Gema tak pernah mengira, hidup dalam baluran kebohongan akan lebih me...