Prolog

59.4K 3.8K 54
                                    

Goddamit! 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Goddamit

Aku terus mengumpat ketika aku harus menjemput dua orang mabuk di klub malam saat jam sudah menunjukkan pukul dua pagi, padahal aku baru tidur selama satu jam. Semuanya gara-gara bos sialan itu! Keluar dari taksi, aku memilih berdiri di pintu masuk daripada harus masuk ke dalam tempat haram yang hanya menyajikan dentuman musik dan kesenangan semata.

Salah satu security memandangku dari atas hingga ke bawah. Aku hanya mengenakan celana pendek, kaos oblong dan jaket jins, serta sandal jepit rumahan seharga sepuluh ribuan yang sudah lusuh. Aku tahu, memakai sandal jepit tidak diperbolehkan masuk ke klub ini. Lagian siapa juga yang mau masuk, kan?

Aku datang karena terpaksa. Umi—budhe-ku, meneleponku untuk menjemput sepupuku yang sudah mabuk berat, dan parahnya dia tidak sendiri melainkan bersama dengan teman baiknya yang juga kukenal. Sialnya mereka berdua teler, jadi nggak ada yang bisa menyetir mobil.

"Saya mau jemput sepupu saya, pak," kataku pada security berpawakan besar yang sedang memperhatikanku.

"Oh, tiga orang yang teler, ya?" jawabnya dengan menampilkan sedikit senyum.

Eh tunggu, tiga katanya? Masa iya ada temannya mas Faza lagi yang mabok?

"Boleh minta tolong untuk dibantu bawa ke sini, nggak pak orangnya?"

Tak lama kemudian tiga lelaki teler itu dipapah oleh beberapa pegawai klub sampai depan pintu masuk klub. Dan aku benar-benar mengumpat ketika melihat satu sosok dari ketiga pria dewasa tersebut.

"SHITTT!! Kenapa orang satu ini bisa ada di sini juga?"

"Mbaknya kenal sama orang ini?" Staff pria berbaju hitam melirik ke pria mabuk yang sedang ia papah. "Saya minta tolong ya, mbak, soalnya saya nggak bisa menghubungi keluarga orang ini. Dia juga bukan langganan kami, baru pertama kali datang, beda sama mas-mas yang dua itu," ia menunjuk mas Faza sepupuku dan temannya.

Ingin sekali aku membiarkan pria songong, angkuh dan tak berperasaan itu teler sampai dikira orang gila. Tapi aku masih punya hati nurani.

Sambil mendesah pasrah aku mengangguk hingga mereka memapah tiga pria itu masuk ke dalam mobil sepupuku yang sudah di parkirkan di depan pintu masuk klub oleh petugas valet.

Pria angkuh sialan itu bergumam, "Glori, glori MU," apa dia datang ke klub hanya untuk menonton pertandingan Manchester United, sampai mabuk? Dasar sinting! "Glori ... she's one of my wonderful staff, but she's untouchable, uggghh... i really wanna take her to my bed, kiss her and... ha ha ha."

Pria itu adalah bosku, yang selalu merepotiku dan membuatku nggak punya kehidupan lain selain pekerjaan.

"Sialan! Mati aja kamu, pak!!!"

***

How was the prolog? Cerita ini pelarian ketika otakku buntu saat menulis The Summer Lives On and Between the Lines.

The Love You Left Behind [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang