Apollo

736 48 2
                                    

City of Angels
Penghujung Hujan
Oktober 2020

Seorang pria terbangun dari tidur singkatnya di atas lantai ruang tengah. Sayup-sayup suara televisi terdengar memekik gendang telinga. Dengan paksa ia menggeliat terbangun.

Pada cahaya yang menyeruak menjadi silau di matanya dan penerangan seisi rumah yang redup, Gun terlelap tanpa sadar sepulang bekerja. Selain suara televisi yang seharian lupa tidak ia matikan, terdengar helaan nafas berat di belakang tubuhnya. Satu dua Hz yang merupa rintihan.

Barang sekali saja, aku ingin benar-benar terbangun mandiri bukan karena gangguan.

Pria itu mendengus. Kedua matanya mengerjap pelan-pelan. Sampai pintu di ujung ruangan terdengar berdecit menampilkan sosok mungil yang ditunggunya, ia mendongak lesu.

"Tidur di lantai lagi?" Layangan tanya itu tidak sama sekali digubris olehnya. Ia berjalan gontai ke arah dapur sambil diiringi langkah kaki si kecil yang membuntutinya di belakang. Tepat di bibir pintu dapur, pria yang belum genap nyawanya itu terhuyung. "Hati-hati!" Tegur sang muda.

Satu usapan lembut jatuh di ubun kepala pemuda berseragam sekolah yang menopang tubuhnya dengan kedua tangan. "Kan Chi udah bilang jangan minum lagi Kak," Bagaimana tidak ia mengerti, di ruang tengah berserakan tiga sampai empat botol bir kosong. Tandas begitu saja menuruni kerongkongan si Kakak sampai jatuh terlelap di lantai dingin ruang tengah. "Kak Gun jangan sampai sakit."

Pria di hadapannya melempar senyum. Sudut bibirnya yang lebam cukup menjelaskan. Dan tidak perlu lagi ada kejelasan untuk ia layangkan tanya.

"Gimana sekolahmu?"

"Baik."

Sebuah tawa menggelinding renyah di lantai dapur. Pria itu balik menghadap adik laki-lakinya, satu-satunya keluarga yang tersisa, hanya dia, sejak dulu, dari titik awal sampai selamanya. "Hari ini kok pulangnya lebih cepet Chi?"

"Chimon pulang telat malah, Kak!"

Kedua alis Gun menyatu membentuk jembatan. Lalu kepalanya jatuh miring ke samping, sambil melihat jarum jam dari celah kepala adiknya.

"Oh... Maaf." Keduanya saling bersitatap. Membentuk pandangan yang sama-sama sulit diartikan. Meski salah satunya tahu, bahwa pemuda di hadapannya seolah tercekat untuk sekedar menahan langkahnya. "Kenapa kamu masih di situ?"

Satu lagi tawa renyah meluncur dari lidah Gun. "Sana mandi, Kakak buatkan minuman dingin biar kamu nggak capek."

Sosok itu berjalan lebih jauh ke buffet. Di sudut mata Chimon mengerling, dari ujung kepala hingga kaki. Lusuh, seolah bukan kata yang tepat mendeskripsikan penampilan kakaknya. Pakaian yang robek di beberapa bagian tengah, celoteng, lumpur yang mengering, bekas pilox, juga bercak darah yang memudar. Apalagi yang mampu membuat Chimon merasa iba melihat kakaknya menerima segala ketidakadilan ini?

"Kenapa?" Pria itu menolehkan kepala. Gurat wajahnya nampak bertanya-tanya. "Perlu air hangat ya?"

"Maaf Chi, gasnya habis, kakak belum sempet beli di warung. Kamu hari ini mandi pakai air dingin dulu ya? Masih ada sisa air di bak mandi juga." Tangannya terus menggeledah mengacak isi bufet yang kosong.

"Atau Chi mau air hangat yang tersisa di thermos?" Kepala Chimon menggeleng. "Biar kakak pinjam uang di tetangga sebelah dan membeli gas dulu, ya?"

"Nggak perlu."

"Tunggu bentar!"

Belum sempat Gun melewati pintu, tangan Chimon menahan kepergian pria itu. Ia menunduk lesu sembari menahan kucuran air mata yang hampir melesak jatuh.

Palmistry [OffGun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang