Mercurius

205 30 1
                                    

Gun mematutkan diri di hadapan cermin luas yang menampilkan dirinya. Seolah di dalamnya, sosok yang mirip dengannya balik menatapnya sedih. Tak ada bedanya dengan tatapan-tatapan iba dan hardik orang yang sama sekali tidak tahu apapun tentang hidupnya.

Gun menahan tangis, namun yang terjadi sosok di dalam cermin itu malah sudah menangis tergugu. Dua detik, hingga Gun dapat melihat cuplikan kejadian saat ia meraung-raung di bawah guyuran hujan. Baru sekarang ia dapat membaui darah segar sementara kemarin seluruh indera penciumannya seolah mati.

Dan hal paling mengerikan yang ia lihat dari balik cermin itu adalah, cuplikan kematian adiknya.

Gun menggelengkan kepalanya kuat. Kedua tangannya memegangi kepala yang hampir meledak oleh suara-suara asing yang seolah menertawakannya, mengolok-oloknya dengan lantang. Mereka tidak mengenal Gun. Mereka hanya suka menindas. Mereka hanya tak berhati.

Lima belas menit ia bertahan di kondisi seperti itu, sampai samar-samar ruh adiknya menjelma menjadi tubuh sempurna. Yang hanya bisa muncul dengan sangat amat nyata di balik cermin. Seolah terperangkap, tidak pula ingin ditemukan.

"Chi..." Gun membelalakkan matanya. "Chi, aku udah tahu kamu pasti nggak meninggal kan di sana? Hahaha bodoh banget aku ngira kamu udah benar-benar ninggalin Kakak selamanya!"

Tawanya terasa sumbang. Senang bercampur takut. "Kakak bikinin teh hangat ya?" Gun menganggukkan kepala meminta jawaban. "Tapi kamu harus keluar dulu dari cermin ini. Sini! Duduk di sofa kita dengerin ceritamu yang lolos dari maut itu."

Pria itu mendadak menangis lebih kencang. Seolah semua kata penghiburan yang meluncur dari lidah dan batinnya saling bertolak belakang. Dadanya bergemuruh. Gerimis yang menjelma dari arak awan kelabu di luar sana, seolah turut berduka.

"Kamu bisa bawa jiwa Kakak pergi?" Gun menatap ke dalam manik mata adiknya. Tatapan mata yang kosong, yang balik menatapnya iba. "Biar kamu nggak sendirian ya..."

"Hiks..." Gun kembali terisak. Kali ini bibirnya sampai bergemeletuk. "Chi aku tahu kamu udah bisa akh-- hiks! Kamu bisa ngomong sama Kakak, sayang!"

Malam itu, ketika Gun akhirnya memberanikan diri melampaui batas ketakutannya, ia menyentuhkan telapak tangannya ke cermin. Lalu di waktu bersamaan ia bisa menyelam di dalam ruh Chimon yang memberinya petunjuk. Hingga ia terlempar ke jalanan dan ruang kosong yang sangat luas, bahkan seperti tidak ada ujung. Kedua tangan Gun seperti dituntun oleh adiknya, berjalan dan terus menyusuri ruang tanpa batas yang sungguh legam. Tak ada penerangan, namun beruntungnya, segalanya nampak nyata.

"Kamu mau bawa Kakak ke mana?" Bisiknya lirih di telinga Chimon.

"Menemui seseorang yang menolongku." Suara itu menyahut. Membuat sedemikian rasa takut Gun berubah lega. Lantas ia balas mengangguk.

Langkah kaki Chimon mendadak terhenti. Membuat Gun mengerutkan alis seketika. "Udah sampai?" Matanya mengedar ke sekeliling. Semuanya tetap gelap seperti ia benar-benar tersesat berdua dengan adiknya di ruang negatif dan menjadi debu yang mencari tepi. "Kakak nggak bisa lihat apa-apa—"

"Chi!"

"Chi!!"

"Chi kamu pergi kemana Chi?"

Gun berputar-putar. Chimon mendadak melepaskan genggamannya dan membiarkan pria itu kebingungan dalam gelap. "Chi Kakak nggak bisa lihat kam—"

Sebuah uluran tangan asing menyentuh telapak tangannya. Memberikan salam yang hangat, yang seolah baru saja membuatnya selamat dari sebuah malapetaka.

"Chi? Ini kamu?"

"Chi..."

Uluran tangan itu berubah menjadi sebuah jabatan tangan. Seolah belaiannya berniat merepresentasikan perkenalan yang baik. Gun bisa merasakan jabat tangan sosok di hadapannya menghangat, seolah-olah sosok itu tengah melempar senyum kepadanya.

Palmistry [OffGun]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang