"Jangan coba-coba baca pikiran ya!" Off balas mengangguk. Lucu bagaimana pria mungil itu mengacungkan jari telunjuk ke arahnya. Kontras dengan bagaimana netra Off tak ingin terlepas berlama-lama dari kedua mata lawannya yang indah. "Rumahmu deket sama air mancur pusat kota Bangkok, loh!"
Kedua alis Off tertaut. Mencebikkan bibir, lalu membalas tanya. "Kayaknya aku yang terlalu introver sampe-sampe aku sendiri bahkan nggak tahu taman di seberang punya air mancur."
"Engga juga. Artinya kamu yang nggak peduli!" Gun menepuk-nepuk celana dari tanah sehabis merebahkan diri di atas rerumputan cepak depan rumah Off. "Mau tau satu rahasia nggak?"
"Apa?"
"Nyxsephone.."
"Kenapa sama air mancur itu?"
Gun menundukkan kepala. Mengikis jarak bibirnya ke telinga Off lebih dekat sambil menahan gemelitik tawa. "Bisa ngabulin satu permintaan kalau koinmu bunyi 'Ting' pas nabrak granit!"
"Kedengarannya deja vu."
"Emangnya mikir apa?"
"Salah satu episode sumur tua di Spongebob."
Gun sontak menganggukkan kepala. Sambil mengangkat telunjuknya, "Tapi di percobaan pertama!"
"Pergi buktiin langsung aja kali ya?"
Gun pikir, itu akan menjadi akhir pertemuan mereka setelah seharian penuh ini Off banyak memberikan secercah bahagia di hidupnya yabg sengsara ini. Bukan karena ia terlalu bersyukur, nyatanya, sebenarnya Gun juga penasaran dengan kisah pria berkulit putih, bermata sipit, yang memanjakannya dengan sangat baik. Sampai-sampai pada arah mereka berjalan di antara remangnya malam dan angin yang mulai bersiul kencang, Gun berani mendongakkan kepalanya tegap untuk memandang wajah Off.
"Kenapa?" Lantas Off langsung menoleh ke arahnya dengan memasang wajah bingung.
"Kamu nanya apa?"
Gun mengulum bibir. Hitungannya ini bukan kali pertama ia ragu dekat dengan siapapun. Rekam jejak ingatannya, kisah-kisah menyedihkan yang terbaca dari gurat wajahnya sudah banyak menjelaskan, kenapa ia takut sekali dekat dengan seseorang. Mungkin, dengan satu solusi mengorek informasi tentang Off, akan memberinya rasa lebih tenang.
"Malam ini aku pengen denger ceritamu, boleh?"
"Apa yang pengen kamu denger?"
"Semuanya. Kuliah, keluarga. Biar impas. Aku yakin kamu banyak tahu tentangku dari rekam medis di puskesmas siang tadi."
Kakinya menyeret jalanan paving, sesekali membuat suara berisik dengan serak-serak daun kering yang mengotori jalan taman. Takut kalau canggung mulai melanda bersamaan dengan datangnya rasa takut.
Lantas Off menghela nafas panjang. Menatap keseluruhan wajah Gun dari samping, lalu mengedar ke sekeliling awan legam yang membumbung tinggi di angkasa.
"Anak tunggal... Seharusnya!" Off menendang kerikil yang menghalangi langkahnya. "Aku punya satu saudara tiri. Namanya Tay. Tapi kita nggak terlalu deket. Ayah dan ibuku masih bersama. Kami mengangkat satu orang anak dari pamanku yang gugur menjalankan dinas tugas di Rusia. Karena dia nggak punya ibu, jadi dia sendirian." Angin di luar sekali lagi berhembus kencang. Membawa serpihan gemerayap rasa takut yang tiba-tiba membawa Gun berfirasat buruk. "Kuliahku masih semester enam. Masih perlu dua semester lagi untuk lulus."
Gun setia mendengarkannya seksama. Sampai tak terasa langkah mereka sudah tiba di hadapan air mancur Nyxsephone. Cahaya lampu taman dan kilau pelangi muncul di antara bias warna putih. Suara gemericik air, dan riak ombak kecil di kolamnya, langsung membius kedua onyx pekat Gun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palmistry [OffGun]
FanfictionCOMPLETED Sinopsis : Kalau kamu percaya takdir berada di tiap bentang garis tangan, maka Gun dengan segala keberaniannya menentang takdir tidak pernah percaya akan garis tangan yang membawanya pada seutas benang merah. Liku, ceruk, lintang, naik dan...