Gun menghela nafas panjang lalu membuangnya kasar dari atas balkon. Kedua matanya lamat-lamat menatap tanah berkerikil dan batu bata yang sudah ia siapkan sejak tadi. Telapak kaki kanannya memijak pembatas balkon. Dan desau yang melirih riuh, serta luka yang menguasai keseluruhan hatinya, wajah Chimon mendadak hadir.
Dari sudut mata Gun memandang, sosok yang sudah tak bisa lagi berbincang padanya balik menatap Kakaknya sedih. Lalu ia menagih langit untuk menjawab, maka siapa yang tidak terpukul? Ingatan-ingatan dan memori luka seolah terus berlomba-lomba mengoloknya sepuas hati. Bahkan langit ikut menatapnya hardik dan iba. "Kamu nggak akan sedih sendirian lagi kok, Chi!" Tangisnya luruh semenjak kepergian adik laki-lakinya, dan bagi Gun semenjak hari itu tidak ada lagi hidup.
"Semuanya telah berakhir, biarin Kakak menyusulmu ya."
Satu dua tetes air mata jatuh membasahi pipi. Ia juga bisa mendengar rintihan yang seolah diteriakkan oleh Chimon. "...ja..nghan..." Lantas bagaimana ia harus menahan diri untuk tidak terluka?
"Please, maafin Kakak. Maaf Kakak nggak bisa jagain kamu." Penyesalan itu seolah datang bertubi-tubi menghujami relung hatinya. "Akh-... Aku selalu bilang kalau kamu masih ada tetap di sampingku nggak pergi kemana-mana."
Bibirnya bergemeletuk. Tangisnya ruah menjadi balada kecamuk yang tiada jeda. Apalagi ketika Gun mendengar rintihan Chimon dari bibirnya yang terkatup rapat. Seolah semuanya menamparnya berkali-kali. Meneriakinya dengan realita pahit yang menyiksa.
Adikmu telah mati, adikmu telah mati.
Pria itu mendekap dada kirinya. Meremat kuat sembari menahan rasa sakit yang bersarang luka di dalamnya.
"Ja..ngahn.." Kemudian arwah adiknya menghilang begitu saja mengikuti arus angin yang berlalu.
"Chiii.. hiks! ...berteriaklah padaku..."
"Bisa nggak kamu jangan merintih, merengek kayak gitu? Kakak nggak suka!" Dadanya seolah terhimpit oleh sesak, menyergap seolah tak memberinya ruang untuk bernafas sejenak. "Chi Kakak merindukamu..."
"SHOUT ON ME!! ...WHY THE HECK ARE YOU WHISPERING?"
Tubuhnya langsung memerosot. Pada lutut yang tak lagi mampu menopang tubuh, pada beban dan sesal yang merongrong. Ingin rasanya ia putus asa menahan semua penyesalan yang seolah menghantuinya. "Nyesel Kakak ninggalin kamu malam itu..."
"Harusnya Kakak bisa lebih terbuka sama kamu kan?" Pria itu nampak berantakan, air mata yang menghiasi wajahnya dengan air mata dan teriak yang mencipta pilu. "...kamu nggak akan maafin Kakak kan?"
Bagian kiri tubuhnya terasa dingin, buru-buru ia membalikkan badan. Dan benar saja, samar-samar sosok Chimon muncul di sana. "Nggak ada tujuan aku bertahan kalau kamu udah pergi, Chi..."
"Sayangku... Maafin Kakak.."
Dadanya bergemuruh kuat. Suara-suara yang membising di kedua telinganya memudar. Sampai hanya terdengar dengung yang menggema. Tidak pula ada pikiran yang lebih jernih lagi untuk menyadarkannya.
Semua warna yang terkontruksi pecah. Menjadi warna yang berantakan, bergantian membentuk kontinyuitas yang memusingkan. Dalam waktu beberapa detik itu jantungnya semoat berhenti. Kebas dan ringan pada seluruh otot-otot tubuh. Satu huyungan lagi ke depan, dan semua akan terasa lebih mudah. Setidaknya aku akan bertemu denganmu dalam wujud dan dunia yang sama, pikirnya.
Gun menjatuhkan tubuh dari atas balkon. Belum sampai semenit, kepalanya sudah disambut oleh rasa basah yang kental. Ia tidak bisa merasakan hal-hal lain kecuali mati rasa. Dan semuanya kian pudar menggelap.
Percaya diri sekali pemuda itu menganggap keputusan dari puluhan langkah untuk mengakhiri diri ini akan membawanya bertemu dengan ruh adiknya. Tidak ada lagi kebodohan yang menjadi lekat, hanya rasa sakit. Dan pria itu hanya perlu menunggu ruhnya ditarik dari tubuh untuk dibiarkan melayang-layang lepas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Palmistry [OffGun]
FanfictionCOMPLETED Sinopsis : Kalau kamu percaya takdir berada di tiap bentang garis tangan, maka Gun dengan segala keberaniannya menentang takdir tidak pernah percaya akan garis tangan yang membawanya pada seutas benang merah. Liku, ceruk, lintang, naik dan...