⌗ Bagian delapan

98 24 5
                                    

Niko duduk termangu di bawah lindungan terpal yang menutupi atap ayunannya. Tetes-tetes air hujan melayang-layang jatuh dari langit, terbawa embusan angin, memantul jauh saat mengenai besi ayunan.

Perlahan pintu rumah terbuka.

Niko berdiri di sebelah pintu. Rambut blondenya yang basah terlihat sangat acak-acakan jika selesai mandi. Ia mengenakan kaos oblong dan celana pendek khas sepak bola.

"Asiiiik, terpesona sama Jake, nih! Jangan-jangan lo udah jadian, ya? Kemarin si Jake ngajak gue ke Sydney buat nonton opera. Nggak heran sih, kalau dia keliatan banget suka sama lo." Ucap Niki dengan nada menggoda. Ia menghampiri Niko.

Niko mencibir menatap Niki. "Ada-ada aja ya, lo kemarin! Kenapa lo bilang gue jatuh cinta sama Jake???" Gerutunya sembari memaparkan wajah kesal dan terganggu.

"Udahlah, lo tuh malu-malu aja. Setidaknya Jake juga tau lo cinta sama dia, dia juga ketauan cinta sama lo. Kalian udah dijodohin sama Tuhan lewat The Wheel."

Drrt. Drrt.

Niko meraih ponselnya yang terpapar disebelahnya. Ia menatap layar ponselnya, ada panggilan masuk dari sang pujaan hati— Jake. Ia tersipu malu saat melihat Jake yang menelponnya, biasanya lelaki itu akan mengirim pesan tanpa menelpon. Ini baru pertama kalinya. "Halo?"

"Iya, halo. Kamu dimana?"

"Di rumah. Kenapa?" Tanya Niko balik. Sesekali ia menatap Niki yang sedang menatapnya balik dengan tatapan sengit dan tertawa kecil.

"Aku kesana. Kamu siap-siap."

Hanya sepatah kata dari Jake yang mampu membuat Niko kalang kabut. Ia belum mandi, bahkan tidak tahu apa yang harus ia lakukan ketika diperintah untuk siap-siap dengan Jake. Pusing dengan fashionnya yang sama sekali tidak selaras dengan lelaki itu yang mempunyai fashion bagus. Ia hanya gadis sederhana, bahkan jarang sekali ia mengenakan pakaian mahal.



Tunggu,

Kenapa ia bisa sekalang kabut ini?




Niko dan Jake menuju taman kota. Mereka berniat sekedar jalan-jalan untuk refreshing saja. Mau tidak mau Jake harus mengutarakan rasanya kepada Niko. Gadis itu telah mencuri hatinya, ia tak mau bertindak lambat.

"Gue suka kalau beraktifitas di taman. Bahkan di kampus aja gue suka menyendiri di taman buat belajar." Ucap Niko dengan tenang saat mereka sudah duduk di taman kota.

"Bunga memang suka berada di taman, 'kan?" Ucap Jake tersenyum.

Niko tersipu malu sekarang. Wajahnya kembali memadam dan pasti memerah.

Hening.

"Niko," panggil Jake pelan. Susah payah ia mengatur napas untuk meredam gemuruh itu. Jantungnya berdegup kencang karena gadis dihadapannya ini. Lalu bagaimana cara ia mengutarakan perasaannya selama ini?

Niko menoleh pada Jake yang sudah menatapnya lebih dahulu. Angin berembus kencang, menyibakkan rambut di sampingnya. "Ada apa?"

"Bagaimana caranya supaya aku bisa membahagiakanmu?" Tanya Jake gugup. Netranya sudah berbinar kala menatap gadis cantik dihadapannya ini. Tangannya mulai meraih tangan Niko untuk digenggam. "Aku... Mau kamu menjadi kekasihmu, bahkan untuk menjadikanmu istriku juga tak apa." Lanjutnya.

Niko terhenyak, menatap Jake tidak percaya. Mereka berdua tak saling bicara selama beberapa saat, Jake juga tidak mau mengendurkan genggaman tanganya pada Niko. "Jake? Kita masih kuliah."

"Aku..."

Jujur, Jake gugup sekali sekarang.

Dan entah sejak kapan Jake berbicara dengan embel-embel aku-kamu tanpa saya.

Niko menatap Jake penuh arti. Ia tersenyum manis hanya untuk Jake seorang. "Gue juga sayang lo. Tapi gue belum siap untuk menikah, Jake."

Jake merasa tidak puas dengan jawaban Niko. Ia menatap dingin wajah gadis itu. "Niko, kamu sayang aku?"

"Of course."

"Karena hanya cinta yang membimbingku melamar dirimu. Dan tekad untuk melaksanakannya." Jelas Jake yang membuat Niko membeku di tempat.

Destiny, Jake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang