⌗ Epilogue

169 27 3
                                    

Niko menggantung tas Adidas dipundaknya. Hari ini kelasnya sedikit berantakan, malas. Dengan jalan bergontai, mau tak mau ia ke kantin hanya untuk menghampiri Niki. Adiknya itu memintanya makan siang bersama, padahal seumur-umur ia tak pernah mengatakan bahwa Niki adalah Adik kembarnya di kampus.

Lorong menuju jalan ke kantin cukup panjang. Sisi lorong berwarna-warni dihiasi foto-foto dan mading, memberikan kesan minimalis dan penuh semangat. Banyak hiasan dengan kutipan yang akan membuat seluruh mahasiswa menjadi semangat. Namun kali ini Niko tidak selera.

Sosok laki-laki yang begitu dikenal Niko berdiri di ujung lorong. tak seperti gayanya yang biasa, kali ini ia mengenakan setelan jas hitam. Rambutnya yang gondrong seleher telah dipangkas rapi, belum lagi poninya disisir ke belakang. Ia tersenyum saat Niko datang menghampirinya. Netranya melembut, menanti Niko dengan penuh harap. "Kamu mau kemana?" Tanyanya tersenyum.

Niko merasakan wajah memanas, berusaha tidak terlihat terlalu senang. "Kok kamu bisa ada disini?"

Iya, kamu. Mereka sudah menjalin kasih.

Jake mengulum senyum. "Tadi aku dikabarin Niki, kalau kalian mau makan siang di kantin Fakultas Teknik. Terus kebetulan aku juga lewat sini dari tempat pemotretan." Jawabnya malu-malu. "Kenapa merengut dari jauh? Keliatan banget."

Niko tersenyum masam. "Tadi dosennya killerrr, malesss." Cibirnya kecil. Ia tertawa saat Jake tertawa karena ucapan kekasihnya yang menurutnya sendiri lucu. "Kok malah ketawa, sih?"

"Lucu abisnya."

Niko menghampiri Jake, ia menyentuh kepala lelaki itu dan memegang rambutnya. "Hmmm, kamu abis potong rambut?"

"Gimana penampilan aku sekarang?" Tanya Jake dengan tatapan menggoda. "Aku abis pemotretan, Sayang." Lanjutnya sembari diusapnya rambut Niko.

Niko berusaha tidak tertawa geli. Ia mengigit bibirnya gugup. Lagi-lagi jantungnya berdegup tidak sinkron. "Yak! Ini kampusku."

"Lalu apa masalahnya?"

"Jake!" Seru Niko sembari menggerutu. Dasar budak cinta tidak tahu tempat, seharusnya lelaki itu sadar bahwa penghuni kampus sudah memperhatikan mereka dan menjadikan mereka sebagai pusat perhatian. Tangannya meraih lengan Jake, ia membawa lelaki itu sampai ke kantin.

Jake tertawa lepas melihat kekasihnya itu sudah salah tingkah. Tangannya langsung meraih pundak kecil milik Niko dan merengkuhnya. "Kamu lucu, saya makin cinta."

Niko memukul-mukul Jake, menahan malu. "Sudah, dong!"

"Iya, Sayaang."

"JAKE!"

FIN.

Destiny, Jake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang