Semua orang di ruang tamu tegang. Duduk dengan wajah serius, membahas sesuatu yang menurut mereka pelik. Entah bagian apa peliknya. Aku hanya duduk diam tertunduk. Mereka membicarakan nasibku, seolah-olah sudah berada di ujung tanduk.
Ayah, Ibu, Adikku dan pacarnya. Empat orang ini telah mengakimiku, pendapatku seperti tak ada gunanya. Menyebalkan memang! Aku selalu bentrok dengan pemikiran mereka.
*****
Namaku Kiran, seorang penulis yang masih betah menyendiri di usia 27 tahun ini. Mungkin bagimu masih muda, namun tak sedikit juga yang sudah bilang aku perawan tua. Banyak saudara, kerabat yang selalu menanyakan 'kapan nikah?' setiap kali bertemu. Jika moodku bagus, aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Tetapi, jika moodku jelek aku bisa mengeluarkan kata-kata kasar.
"Kenapa? Emang mau bantu biaya nikah ya?" jawabku sengak.
Mungkin pertanyaan itu sedikit sensitif untukku. Seperti ada yang memancing di air keruh. Aku benar-benar bisa marah. Mereka bilang, aku bisa dikategorikan ideal. Tinggi semampai, dengan rambut panjang lurus. Mereka juga bilang parasku sempurna. Mata sayu, pipi tirus dengan bibir tipis. Hanya saja, mereka juga heran kenapa aku belum bisa menemukan pasangan?
Hidup terlalu singkat jika untuk mengurus perkataan orang. Namun, jika itu dari orang tuamu sendiri, semua akan menjadi dilema. Seperti kehabisan napas. Tak ada tempat untuk berbagi jika orang tua juga sudah memberi instruksi.
Seperti pagi ini, Ibu sibuk menceritakan gosip terbaru sembari memasak di dapur. Anak tetangga yang lebih muda dariku dua tahun, telah dipinang dan akan menikah sebentar lagi.
"Si Ella anak tetangga kita, yang baru lulus kuliah eh udah mau nikah," ucap Ibu dengan penuh semangat sembari tangan sibuk menumis bumbu.
Aku yang memotong tempe di meja hanya tersenyum, "Lah, terus kenapa kalau nikah duluan?"
Ibu menjawab, "Ya nggak apa-apa, cuma, kan, masih muda."
"Ya udah," jawabku singkat.
"Ah, kamu nih di ajak cerita kok gitu. Emang kamu nggak kepengin cari cowok terus nikah? Inget kamu udah 27!"
"Kenapa emangnya kalau udah 27? Salah gitu?" pertanyaanku menyulut emosi Ibu.
Ibu mematikan kompor dan berbalik kepadaku, "Kiran, kamu nggak bisa mikir apa? Sampai kapan kamu mau sendiri terus sama laptop kamu?"
"Ya udah ... doaian aja sih Ibu, biar Kiran dapet suami!" sahutku.
"Ibu udah pasti doain! Maksud Ibu itu cuma pengen kamu mandiri, ada yang njagain kamu. Apalagi nanti kalau Ibu sama Ayah udah nggak ada." Tangannya berkacak pinggang menandakan kemarahan.
"Iya Kiran ngerti," kuputus percakapan ini.
Pembicaraan itu tak berartinya. Hanya Ibu ingin aku segera menikah, itu pointnya. Salah satu ketakutan terbesar dalam kehidupanku saat ini. Seperti ada benteng yang menghalangiku untuk melangkah.
Semua itu menjadi bumerang tersendiri ketika Dias, adikku satu-satunya meminta izin untuk menikah dengan pacarnya. Aku seperti memakan buah simalakama. Satu sisi aku ingin menghalangi dia menikah duluan, tapi di sisi lain dia punya perempuan yang harus diberi kepastian. Semua ini membuatku semakin frustasi.
Semua anggota keluarga berkumpul, termasuk pacarnya adikku, Rini. Duduk di ruang tamu membicarakan hal penting ini. Terlebih, adat jawa melarang adik laki-laki menikah duluan dari kakak perempuannya. Banyak mitos mengatakan hidup kakaknya akan menjadi perawan tua, tak kunjung mendapat jodoh. Sedangkan adiknya dianggap tak sopan. Entah mitos atau fakta.
"Jadi, apa boleh Dias sama Rini menikah duluan?" tanya adikku menegaskan pokok permasalahan. Pacarnya yang duduk disebelahnya, menundukkan wajah dalam-dalam.
"Bukan masalah boleh atau nggak boleh, tapi tahu sendiri nanti tetangga bilang apa?" jawab ayah.
"Kenapa harus memikirkan omongan tetangga? Ayah nggak tanya perasaan aku yang ditinggal nikah duluan sama Dias?"
"Kalau kamu punya perasaan, harusnya kamu punya cowok untuk dikenalkan. Kejadian seperti ini nggak akan terjadi," sanggah Ayah.
"Ayah kamu bener. Ibu sudah mewanti-wanti kamu kan untuk segera menikah supaya tak ada kejadian seperti ini," sahut Ibu.
"Emangnya siapa yang nggak mau nikah? Siapa yang nggak pengen bahagia? Kiran juga pengen bahagia! Kiran juga ingin berkeluarga! Kiran cuma nggak mau punya suami seperti Ayah. Kerjanya hanya di kamar, streaming youtube sedangkan Ibu yang kerja keras. Untuk apa menikah kalau ujung-ujungnya Kiran mengejar materi?" aku meluapkan segala emosiku. Mataku memanas mengatakan itu semua. Dadaku juga terasa sesak.
"Kiran!" bentak Ayah.
"Apa? Kirana bener kan? Kadang ayah kerja, kadang nggak. Ibu sering marah-marah karena stress mikir kebutuhan. Jadi, untuk apa berkeluarga tapi nggak ada kebahagiaan? Entah keluarga seperti apa yang kalian bangun, " aku mulai terisak.
"Kiran, kamu sadar nggak dengan kata-kata kamu?" Ibu bertanya dengan penuh amarah.
"Kiran sadar, sadar banget! Makanya Kiran ngomong yang sebenernya!" tandasku.
"Kak ... tolong Dias sekali ini," Dias memohon.
"Kalau kalian nikah, nikah aja. Nggak usah ndengerin omongan tetangga!" tandasku.
Semua diam. Ini adalah suasana yang kuceritakan di atas tadi. Berdebat mengenai pernikahan, salah satu hal yang bisa menyulut emosiku. Selain ayah, alasan aku takut adalah aku belum pernah tahu seperti apa itu cinta. Ayah belum berhasil menjadi cinta pertamaku, hingga aku belum bisa mendefenisikan cinta itu sendiri. Seperti sesuatu yang sulit aku jangkau terasing dalam kotak bayangan.
****
Hayo? Siapa yang lagi ngalamin ini? Tos dulu, dong! wkwkwkw ...
Love dan comment kalau emang kamu suka, ya.
YOU ARE READING
Love You Mama,
Teen FictionDua manusia lintas generasi yang berbeda dan mempunyai sudut pandang masing-masing. Ketika beranjak dewasa dan mulai berpikir dengan kritis, tanpa sadar ada sosok yang selalu mendampingi di setiap langkah.