Tak Sama Bagi Setiap Orang (Gara-gara Corona 3)

85 8 2
                                    


Riko adalah salah satu manager di perusahaan ternama. Pekerjaan yang mapan bagi pemuda yang berusia 27 tahun. Statusnya yang masih single juga membuat dia bisa menabung banyak. Pekerjaan manager tak terpengaruh dari dampak corona yang kian meluas. Dia masih bisa bekerja dari rumah dan menerima gaji utuh. Kalaupun terpotong, kebutuhannya masih bisa dia penuhi.

Seperti pagi ini, tangannya sibuk mengecek transferan dari ponselnya. Lantas, dia tersenyum karena berarti keuangannya aman selama corona berlangsung. Bermula dari mengecek transferan, berlanjut berselancar di sosial media yang penuh dengan pemberitaan corona.

Warga Masih Keluar Rumah Untuk Bekerja

Salah satu headline menggelitik otaknya. Penasaran, dia membaca berita hanya pada point-point penting. Jari-jarinya begitu cepat menelusuri hingga ke kolom komentar, mengetik segala yang ada di dalam benaknya.

Negara kayak gini masih ada keluar. Diem dulu napa? Gregetan!

Kolom komentar dipenuhi dengan segala uneg-uneg dari netizen. Orang-orang memang sering kali berkomentar tanpa pikir panjang. Mereka hanya berpikir bahwa usulannya adalah hal yang terbaik untuk mengatasi pandemi ini.

"Bubur ayam! bubur ayam!" terdengar teriakan tukang bubur ayam dan dentingan mangkok hingga ke dalam rumah. Riko teringat dia belum makan apa-apa dari tadi, malas sarapan. Sekarang, perutnya keroncongan minta diisi.

Dia beringsut dari kursi, lantas keluar dari rumah. Tepat di depan rumah, tukang bubur itu berhenti untuk istirahat. Seorang bapak separuh baya berpenampilan kaos sederhana dengan topi untuk menghalau panasnya matahari, serta handuk kecil menggantung di leher untuk mengelap keringat. Dia duduk di kursi plastik dan menghitung uang yang di dapat, berupa dua lembar sepuluh ribuan dan lima lembar dua ribuan. Padahal, biasanya dia sudah bisa mendapat lebih dari ini.

Semua gara-gara corona, orang-orang jadi takut untuk keluar ataupun membeli makanan dari luar yang belum tentu terjaga kebersihannya. Imbasnya, dagangan bubur ayamnya sepi. Sudah beberapa hari ini belum balik modal, selalu membawa sisa bubur yang banyak. Setelah itu, dia bagikan ke tetangga sekitar yang mengalami hal serupa.

"Bang, bubur ayam satu!" pinta Riko mengampiri abang yang melamunkan nasibnya. Buru-buru tangannya memasukkan uang ke dalam laci gerobak. Sedangkan Riko duduk di kursi plastik.

"Siap!" Tangannya gesit meracik bubur ayam.

"Baru keliling di daerah sini ya bang?" tanya Riko sambil menunggu pesanan.

"Iya bang, jualan lagi sepi. Nyoba keliling, lumayan kalau ada pemasukan." Si tukang bubur sibuk menuang kuah. Setelahnya, berbalik dan menyerahkan bubur ke Riko yang duduk di belakangnya.

"Makasih," ucapnya sembari menerima semangkok bubur ayam, "Terus gimana?" lanjut dia bertanya.

Si tukang bubur duduk di kursi plastik depan gerobak, berjarak satu meter dari Riko menjawab, "Yah, gimana lagi bang? Yang penting usaha dulu. Buat makan sehari-hari. Ini aja modal masih belum balik, nggak tahu besok masih jualan atau nggak."

Riko tak tahu jika efeknya sebesar ini. Dia hanya tahu bahwa semua ini akan berakhir, tak ada yang ditakutkan selama dia masih punya tabungan. Namun, ternyata ada orang yang harus bertarung habis-habisan agar bisa bertahan selama pandemi. Seperti abang tukang bubur ini yang mengandalkan penghasilan harian untuk mencukupi kebutuhan.

Rasa bubur ayam yang semula enak tiba-tiba terasa hambar mendengar penuturan si abang. Dia seperti tersindir secara halus dan merasa malu. Riko yang berkecukupan namun tak menyadari keadaan sosial yang sebenarnya. Cepat-cepat dia habiskan bubur ayam, menyerahkan mangkok ke abangnya. Tangannya merogoh dompet yang ada di saku celana. Dia keluarkan tiga lembar seratus ribu, melipatnya dan menyalami tangan si tukang bubur.

"Ini nggak kebanyakan bang?" tanya si tukang bubur.

"Nggak apa-apa, itu buat abang. Semoga rejeki lancar terus ya, sering-sering lewat sini." Riko segera berlalu setelah mengatakan itu.

"Makasih bang!" teriak si tukang bubur.

Hati kecilnya merasa lega, ada sesuatu yang membuatnya bahagia. Mungkin kebaikannya tadi tak seberapa dibandingkan tabungan yang ada di dalam bank, karena pada dasarnya kekayaan bukan terletak dari harta yang tersimpan tetapi seberapa ikhlas kita memberi.

Semenjak itu, Riko sering keluar di sore hari setelah semua pekerjaannya selesai dan memberikan sembako kepada yang membutuhkan. Setidaknya, meringankan beban orang lain di tengah pandemi seperti ini. Dia juga yang memberi saran untuk membuka donasi selama pandemi ini, meski dia berharap kegiatan donasi bisa berlanjut seterusnya. Riko hanya berharap, semoga kita semua dapat melalui pandemi ini dengan kuat.

*****

Love You Mama,Where stories live. Discover now