Ponsel di tangan Syifa tak henti-hentinya berdering. Puluhan chat masuk dari group kelas. Berisikan absen dan tugas yang harus dikumpulkan segera secara online. Syifa mendengus sebal melihatnya. Dia masih berkutat dengan soal matematika yang ada. Duduk manis di ruang tamu sembari sibuk mengerjakan tugas online. Ibu yang duduk di sebelahnya juga ikut berpikir, selalu membantu mengerjakan PR selama di rumah.
Semua gara-gara pendemi virus corona hingga pemerintah memutuskan untuk belajar di rumah, bekerja di rumah dan beribadah di rumah. Berkali-kali Syifa mendenguskan napas sebal. Dia sudah jenuh dengan semuanya. Gadis sepuluh tahun itu memang kurang berminat dalam hal berbau belajar apalagi matematika.
"Ibu, ini gimana?" tanyaku semabri menyodorkan ponsel.
Ibu menatap lekat-lekat ponsel itu. Beberapa kali mengetuk layar untuk memperlebar soal yang dibagi. Soal matematika tentang pembagian. Lantas, Ibu menghembuskan napas. Syifa hanya diam, pikirannya sudah mentok dengan segala tugas yang menumpuk. Keterbatasan akses keluar rumah, membuat Syifa terkadang uring-uringan.
"Syifa paham nggak?" tanya Ibu setelah menjelaskan panjang lebar.
"Belum ..., " jawabnya tanpa rasa bersalah.
Ibu mengulangi lagi penjelasan tentang pembagian. Kegiatan seperti ini terus dilakukan di setiap hari. Ibu dengan sabar mendampingi Syifa belajar, anak satu-satunya yang paling berharga. Nyatanya, dengan adanya virus corona Syifa bisa berkumpul bersama Ibu yang sibuk kerja sehari-hari.
Hubungan yang sulit dijelaskan. Terkadang, Syifa merasa Ibunya adalah orang asing. Paling menyebalkan dengan segala aturan, sosoknya yang hadir di dalam kehidupan Syifa semakin menambah kerenggangan. Ibu sibuk bekerja sebagai administrasi di salah satu perusahaan, membantu perekonomian keluarga. Sedangkan Ayah, masih harus bekerja sebagai tukang ojek online. Di mana penghasilannya dihitung banyaknya orderan.
"Habis ini, bantuin Ibu njemur kasur yuk!" ajak Ibu. Syifa yang sibuk menggerakkan pensilnya, sedikit menggumam.
"Nggak mau, Syifa nggak kuat lah!" tukas Syifa. Ibu hanya mendenguskan napas, menahan amarah.
****
Setelah Syifa selesai dengan tugas sekolah, Ibu menjemur kasur di depan halaman rumah. Mengatur beberapa kursi merah berderet sebagai dipan sementara. Tanpa bantuan siapapun. Syifa justru tengah asyik bermain game online kesukaannya.
Peluh mentes dari dahi Ibu yang susah payah mengangkat kasur. Kasur kapas jaman dulu, bukan springbed atau kasur empuk seperti saat ini. Berkali-kali Ibu menepuk-nepuk kasur dengan sapu lidi, debu-debu halus bertebangan. Keluar dari permukaan kasur yang bergelombang dan berwarna pink itu.
Dari luar, Ibu nampak biasa saja. Seperti tak aada kejadian yang berarti, tapi dalam hatinya tak ada yang tahu. Bahwa dia merasa lelah dengan semuanya. Anak satu-satunya yang diharapkan bisa membantunya justru asyik bermain ponsel hingga berjam-jam.
"Syifa, bisa bantuin Ibu sebentar?" teriak Ibu dari halaman.
"Iya, bentar. Lagi online!!!" teriak Syifa dari ruang tamu. Ibunya hanya geleng-geleng kepala.
Jawaban yang selalu keluar dari mulut anaknya. Seperti yang dikeluhkan ibu-ibu lainnya. Anak sekarang, suka sekali dengan benda kotak itu. Hingga tak terasa waktu bergulir karena kecanduan.
*****
Keesokan harinya, masih dengan rutinitas yang sama. Syifa ada PR secara online. Ibu masih sibuk dengan cucian yang menumpuk di kamar mandi karena sering mengganti baju sehabis keluar rumah.
"Ibu, bantuin Syifa ngerjain PR ..., " melasnya. Dia berdiri di depan pintu kamar mandi menunggu Ibunya untuk selesai mencuci.
"Sebentar, Ibu lagi sibuk!" jawab Ibu singkat.
"Ayolah ..., nanti mau dikumpulin." Dia masih merengek.
"Kalau kamu mau cepet, mending bantuin Ibu nyuci dulu. Jadi cepet selesai habis itu baru ngerjain tugas!" tegas Ibu. Tangannya masih menyikat pakaian, gelembung-gelembung sabun menutup halus seluruh jari-jari.
"Nggak mau!" rengek Syifa.
"Kalau nggak mau, nunggu Ibu selesai dulu!" tandas Ibu. Syifa memutar bola mata, malas dengan syarat yang Ibu berikan.
Syifa beranjak ke ruang tamu. Di mana buku-bukunya berserakan di meja. Berusaha memecahkan soal matematika, meski dia benci matematika. Syifa mencoba menghitung di kertas kosong, ceorat-coret. Nihil! Dia tak bisa berpikir.
Ibu masih sibuk sepanjang hari, menyikat kamar mandi, menjemur pakaian, masak untuk makan siang, membereskan dapur, cuci piring. Syifa sampai kelelahan menunggu. Akhirnya tertidur di sofa ruang tamu. Ibu hanya membiarkannya saja. Biarkan dia belajar tanggung jawab. Biarkan dia belajar arti saling membantu. Jika terus membantunya, kapan dia bisa mandiri dalam mengerjakan tugas? Bagaimana dia bisa paham bahwa kita hidup harus saling tolong menolong? Bukan hanya meminta tolong?
Syifa tertidur hingga adzan dhuhur berkumandang. Dia panik karena tugasnya belum terselesaikan. Beranjak dari sofa dan bergegas mencari Ibu. Ternyata Ibu di kamar, duduk manis di meja kerja dan sibuk menatap layar laptop. Bekerja dari rumah. Banyak deadline yang harus ditepati.
"Ibu, ayo bantu Syifa!" Syifa muncul di belakang Ibunya. Ibu menoleh.
"Kamu bisa ngerjain sendiri dulu ya? Ibu lagi sibuk kerja?"
"Dari tadi sibuk terus! Syifa capek nunggu!"
"Dari kemarin, Ibu minta bantuan kamu bilangnya sebentar terus! Tadi minta bantuan cuci pakaian juga nggak mau! Jadi kenapa Ibu harus bantu kamu kalau kamu aja nggak bantu Ibu?"
"Kok Ibu perhitungan?" sahut Syifa.
"Ibu nggak perhitungan! Tapi memberi kamu pemahaman! Bahwa kamu harus bisa tolong menolong, jangan hanya ditolong! Gimana orang lain mau menolong jika sikap kamu seperti itu? Nggak pernah bantuin orang lain? Semua hukum timbal balik! Kalau kamu baik, orang juga akan baik. Kalau kamu suka menolong, pastilah akan banyak yang menolong kamu!" nasihat itu begitu menusuk hati Syifa. Wajahnya tertekuk, semua yang dikatakan Ibu benar.
Ibu menghembuskan napas lantas berkata, "Kamu ngerti kan? Jadi anak yang baik, tolong orang lain yang butuh. Ngerti?"
"Ngerti ...,"
"Ya udah, sekarang mana PR kamu, bawa ke sini. Ibu sambil ngerjain tugas kantor," pinta Ibu.
"Maaf ya Bu," sesal Syifa.
"Iya, Ibu maafin. Udah mana tugasnya?" Syifa pun ke ruang tamu dan kembali dengan membawa buku serta ponselnya.
Pelajaran berharga selama belajar di rumah. Bahwa hidup, harus saling tolong menolong. Semua ada hukum timbal balik. Semenjak itu, Syifa berusaha sebisa mungkin untuk membantu pekerejaan rumah. Meringankan beban ibunya. Bahkan, Syifa mendapatkan banyak ilmu. Syifa tahu cara memasak, cara memasang sprei, dan semua hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah.
****
YOU ARE READING
Love You Mama,
Teen FictionDua manusia lintas generasi yang berbeda dan mempunyai sudut pandang masing-masing. Ketika beranjak dewasa dan mulai berpikir dengan kritis, tanpa sadar ada sosok yang selalu mendampingi di setiap langkah.