Aku berada di depan nisan. Berkunjung setelah beberapa bulan aku pergi merantau. Nisan yang masih sama seperti dahulu, terawat dan bersih. Aku rutin mentransfer penjaga makam asal dia merawat nisan ini.
Kembang tujuh rupa, sudah aku taburkan ke atas makam. Kata orang, itu oleh-oleh untuk mereka yang sudah meninggalkan kita. Entahlah, aku hanya mengikuti adat yang ada. Lantas aku pamit karena sudah dua jam lebih aku di sini.
"Aku pulang dulu ya ...," pamitku. Aku berdiri dan melangkah perlahan menuju gerbang keluar hendak pulang.
****
Sepuluh tahun yang lalu ...
Perempuan berusia empat puluh tahun itu berjalan genit di trotoar bersama seorang laki-laki. Rambutnya tergerai bebas, wajahnya lengkap dengan make up, tak menunjukkan sedikitpun tanda penuaan pada dirinya. Tangannya menggandeng seorang pria yang hampir seumuran. Perawakannya gagah, terlihat tegas dan berwibawa, jas berwarna biru menandakan bhawa dia bukan pria sembarangan. Tumbuh kumis halus yang ada rahang atasnya. Membuatnya semakin dewasa menurutku. Mereka seperti ABG yang sedang di mabuk cinta.
Dia mamaku yang paling aku sayangi. Pemandangan itu cukup membuatku syok setengah mati. Instingku mengatakan aku harus bersembunyi, cepat-cepat kakiku melangkah menuju pohon yang terdekat denganku. Mengatur ritme jantun yang sedari tadi sudah hampir meledak.
Ini semua di luar dugaanku. Mama yang harusnya bekerja di kantor pada jam seperti ini, justru asyik keluar dengan seorang pria yang tak kukenal.
****
Mama menyapaku setelah pulang dari kantor. Seolah tak terjadi apa-apa. Seperti hari-hari biasanya berjalan. Namun kali ii berbeda. Aku menyambutnya dengan muka masam. Duduk di sofa ruang tamu dengan tangan terlipat di dada. Menunjukkan kegeramanku.
"Hai Angela, kamu kenapa?" tanya Mama sembari duduk di sampingku.
"Nggak kenapa-kenapa. Justru Mama tuh yang kenapa?" Aku menatap sinis.
"Mama memang kenapa?"
"Udah Ma! Nggak usah bohong!"
"Bohong apa?"
"Tadi Angela lihat Mama sama laki-laki lagi jalan berduaan!" bentakku, "Siapa dia? Pacar Mama?"
"Angela denger dulu penjelasan Mama sayang,"
"Semuanya jelas Ma!"
Sore itu, kami perang dingin. Aku masuk ke kamar dengan membanting pintu keras-keras, menandakan kemarahanku. Tak ada pembicaraan lebih lanjut lagi. Aku masuk ke kamar, melewatkan makan malam. Aku sungguh tak berselera makan dengan situasi seperti ini. Baru kali ini, aku dan Mama bertengkar hebat. Semenjak di Papa pergi meninggalkan kami dan tak ada kabar sama sekali, aku hanya tinggal berdua bersama Mama. Aku tak ingin Mama mencintai orang lain lagi, lantas aku menjadi kembali korban. Cukup Mama dan aku saja di sini.
Aku takut Mama akan menikah lagi. Kalau sampai terjadi, apa bedanya Mama dengan Papa yang dulu? Bukankah sama-sama egois? Sama-sama mementingkan nafsu belaka? Ada perasaan aneh menjalar di seluruh tubuhku. Terasa sesak, nyeri di bagian dada. Aku hanya ingin hidup berdua dengan Mama tanpa siapapun.
Kami masih saling mendiamkan sampai dua hari. Dua hari tanpa pembicaraan berarti. Aku terus mengurung diri di kamar setelah pulang sekolah. Mama terus saja menaruh nampan makanan di depan pintu setiap sarapan dan makan malam. Interaksi aneh selama aku marah dengan Mama. Hingga malam itu, suara piring yang pecah terdengar jelas hingga ke kamarku.
Aku bergegas membuka pintu. Betapa terkejutnya aku setelah menemukan Mama pingsan tepat di depan kamarku. Aku berteriak panik hingga tetangga sebelah mengunjungi rumah dan membantuku membawa Mama ke rumah sakit.
****
Mama tergolek lemah di ranjang rumah sakit, terlilit dengan berbagai alat medis. Sampai dua hari ini, Mama belu sadarkan diri.
Dua hari di rumah sakit, aku dan dokter berbicara empat mata mengenai penyakit Mama. Wajah dokter sedikit tertekuk ketika masuk ke ruangan. Aku yang mengekor dibelakangnya berkali-kali mendesah napas, takut dengan apa yang akan dibicarakan. Dokter mempersilahkanku untuk duduk. Tangannya sibuk membaca laporan hasil penanganan tadi.
"Ibu Anda mengalami penyakit emboli paru-paru. Pada kasus ini terlihat unik, tidak menunjukkan gejala. Namun, terlihat jelas ketika melihat hasil CT scan." Dokter memperlihatkan hasil CT scan itu.
"Lalu, apakah Mama saya bisa sembuh Dok?" tanyaku.
"Kemungkinannya sangat kecil, dengan perawatan yang tepat saya harap Ibu anda bisa selamat."
Percakapan antar aku dan dokter ketika di ruangan, membuatku gusar. Aku belum siap untuk kehilangan Mama. Usiaku masih 15 tahun, aku tak ingin hidup sendirian.
Namun, takdir berkata lain. Mama menghembuskan napas terakhir di hari ke empat. Tangannya yang kgenggam terasa dingin, kaku. Wajahnya terlihat pucat. Aku menangis sejadi-jadinya. Meronta membangunkan Mama. Menggoyang-nggoyang kan tubuhnya seperti waktu kecil.
Mama, setidaknya jangan tinggalkan Angela dengan perasaan bersalah tempo hari. Tak bisakah beri sedikit waktu untuk melihatku tumbuh dan berubah? Aku akan berbakti sama Mama.
Suster menahan tubuhku yang menggila ingin memeluk Mama. Semua pertiwa terjadi begitu cepat. Suster membereskan ranjang rumah sakit dan jasad Mama segera dpulangkan. Prosesi pemakaman juga kubanjiri dengan tangisan. Para tetangga mengasihi nasbiku, yang begitu muda harus kehilangan kedua orang tua. Hanya sebatas mulut, mereka tak benar-benar kasihan. Setelah prosesi pemakaman, semua pergi bergilir satu per satu meninggalkan aku sendirian meratapi kesedihan.
Seorang laki-laki menungguku di depan pintu rumah, penampilan rapi dengan tuxedo hitam sebagai tanda berkabung. Dia adalah laki-laki tempo dulu yang pernah aku lihat bersama Mama.
"Angela, Om harus bicara sama kamu. Ini tentang Mama," langkahku terhenti di depan pintu. Menoleh sejenak, benarkah tentang Mama?
Aku mempersilahkan masuk. Kami duduk di lantai beralaskan tikar, karena kursi-kursi diangkat ke luar halaman rumah. Ruang tamu disulap untuk membaringkan jenazah Mama sebelum dikebumikan.
Kami saling berhadapan. Aku menatap kosong matanya, entah apa yang akandia bicarakan. Tiba-tiba, tangannya menyelip di balik jas tuxedonya. Meraih satu amplop putih. Di sodorkannya kepadaku.
"Bacalah!" Aku hanya menurut. Meraih amplop itu dan membukanya.
Angela, anak Mama yang cantik. Mungkin kalau kamu baca ini, Mama berarti sudah pergi. Mama harap kamu bisa melepas kepergian Mama dengan ikhlas ya, jangan cengeng. Om Handi yang Mama percaya untuk menyampaikan surat ini kepada kamu. Dia pengacara, sekaligus sahabat Mama. Kamu bisa tinggal bersama dia sampai kamu dewasa dan siap untuk hidup sendiri. Anggap dia seperti orang tua kamu sendiri ya?
Maafin Mama kalau pergi terlalu cepat, bukan berarti Mama nggak sayang ya. Mama akan selalu sayang sama kamu.
Air bening menetes membasahi surat yang kupegang. Semua membuatku terpuruk, ingin pergi bersama Mama.
"Mama kamu, sudah mewariskan hartanya kepada kamu. Cukup untuk kamu sampai dewasa," ucap Om Handi. Nama yang baru aku ketahui.
Aku semakin histeris dengan ucapannya. Bukan harta yang aku inginkan, tapi Mama. Andai waktu bisa kuputar. Maafin Angela Ma!
YOU ARE READING
Love You Mama,
Fiksi RemajaDua manusia lintas generasi yang berbeda dan mempunyai sudut pandang masing-masing. Ketika beranjak dewasa dan mulai berpikir dengan kritis, tanpa sadar ada sosok yang selalu mendampingi di setiap langkah.