Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Ibu. Semua kejadian ini menamparku dengan sanagat keras. Menjadikanku seperti manusia yang tak berguna. Ibu membelai lembut rambut panjangku. Menenangkanku yang masih tersedu-sedu.
"Udah, ikhlasin aja ya ...," ucap Ibu dengan lembut.
Aku masih tak kuasa menahan isakku. Membiarkan tubuh ini untuk istirahat terlebih dahulu. Menjadi peristiwa ini adalah pelajaran yang paling berharga.
*****
Tanganku sibuk melingkari tanggal 17 yang special di bulan ini. Tepat hari anniversaryku dengan pacarku satu-satunya, Bimo. Aku sudah mempunyai sederet rencana untuk merayakan hari jadi kami. Tak terasa hubunganku dengan Bimo sudah satu tahun. Berawal dari pertemuna pertama kali saat OSPEK SMA dan berlanjut sampai sekarang. Hubungan yang penuh dengan perjuangan. Berjuang menahan ego, memberinya kepercayaan dan pastinya berusha untuk semakin dewasa dalam menjalani hubungan. Aku tersenyum sendiri mengingat segala kenanganku bersama Bimo. Saat kami harus kehujanan karena motor yang mogok, atau saat kami makan berdua di angkringan. Semua terasa menyenangkan meski serba kekurangan.
"Ayu ..., bantuin Ibu jualan!!!" teriakan Ibu sampai di kamarku yang letaknya brdekatan dengan teras, tempat Ibu jualan gorengan.
"Iya!!!" jawabku. Aku segera menuju depan rumah.
Ibuku memang penjual gorengan di depan rumah. Lokasi rumah yang strategis dan dekat dengan jalan raya dimanfaatkan Ibu sebagai sumber penghasilan. Terkadang aku harus membantu Ibu yang kerepotan, terutama di sore hari. Waktu paling ramai orang-orang pulang kerja dan mampir untuk membeli cemilan.
"Tolong Ibu dulu ya, Ibu mau sholat." Ibu menyerahkan pencapit gorengan dan segera masuk ke dalam. Tinggallah aku sendiri melayani para pembeli yang berdatangan.
*****
Malamnya, dengan semangat Ibu menghitung hasil penjualan. Mengeluarkan uang dari kaleng bekas roti lebaran. Melebarkan satu per satu uang kertas yang terlipat. Mulut Ibu juga komat-kamit menghitung setiap lembaran uang. Aku pun ikut membantu. Seperti biasa, dagangan Ibu ludes alias laris manis. Kalaupun ada sisa, Ibu selalu membagikannya ke tetangga sekitar. Setelah semua selesai dihitung, Ibu mencatat hasil penjualan ke dalam buku administrasi pribadi, tak lupa pula mencatat bahan pokok yang harus dibeli untuk esok hari. Ibu memang orang yang teliti masalah uang.
"Ibu ...," panggilku pelan.
"Kenapa?" tangannya masih sibuk mencatat.
"Ayu, boleh ... minta uang?" aku menanyakannya dengan hati-hati.
"Untuk apa?" tanya Ibu.
"Buat beli kado, Ayu mau ngerayain hari jadian sama Bimo." Ibu memicingkan mata, seorang berpikir sejenak.
"Boleh ya?" bujukku sekali lagi dengan mendekapkan tangan di dada.
"Ya udah, tapi bantuin Ibu seharian besok. Baru Ibu kasih upah,"
"Kok gitu?" protesku. Wajahku berubah masam.
Ibu tersenyum kecut, "Kenapa? Nggak mau? Ya nggak apa-apa,"
"Iya deh, Ayu bantuin Ibu seharian di hari Minggu besok."
Kesepakatan sudah terjadi. Demi membeli kado untuk Bimo, aku rela untuk bekerja sehari membantu Ibu. Suatu kebiasaan dari Ibu, aku harus mau membantu seharian menjual gorengan agar mendapat uang ekstra diluar kebutuhanku. Secara tidak langsung, Ibu mendidikku agar selalu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang aku inginkan. Mulai dari menyiapkan adonan, memotong tempe, pisang, tahu, serta menggorengnya dengan suhu yang panas. Aku terengah-engah mengerjakan itu semua.
*****
Hari ini adalah hari yang aku tunggu. Aku berniat untuk memberi Bimo kejutan di rumahnya. Datang diam-diam tanpa memberitahu, dengan membawa kado yang sudah aku siapkan. Bayanganku terlampau indah, berharap hubungan ini bisa berlangsung selamanya.
Namun, siapa sangka? Justru itu adalah awal dari kehancuranku. Aku melihat Bimo berduaan dengan perempuan lain. Memeluknya dengan mesra dan tatapan penuh cinta. Kadoku jatuh, terlepas begitu saja dari tanganku. Aku melebarkan mata melihat lebih dekat lagi, berharap semua ini bukan nyata. Bimo seperti maling tertangkap basah, menatapku kikuk.
"Bim ...," sapaku pelan, suaraku sudah menghilang seiring dengan air mata yang keluar.
"Ayu ... kamu jangan salah paham."
"Plakk" tamparan keras mendarat di pipinya kirinya.
"Kita putus!"
Aku berlari begitu saja setelah mengucapakan dua kata itu. Terisak mengingat setiap moment yang telah kita lewati berdua. Hancur berkeping-keping. Andai dia tahu kalau aku susah payah untuk mendapatkan kado itu, anda dia tahu perjuanganku.
Pulang ke rumah, aku disambut Ibu. Menangis sejadi-jadinya. Menceritakan semuanya, asal mula kejadian ini.
*****
Ibu terlihat lelah sore ini, peluh di dahi tak bisa dibohongi. Menggoreng di wajan penuh dengan minyak panas, membuat keringatnya keluar. Aku baru tersadar bahwa pengorbanan yang besar itu adalah orang tua. Rela berpanas-panasan, menahan lelah untuk menghidupi anak tercintanya. Aku mendekatinya dan berusaha membantu sebisaku. Sedikit meringankan beban yang ditanggung Ibu.
Aku jadi malu sendiri, kemarin aku menangis gara-gara putus cinta dan rasanya sakit hati. Tapi, lihat Ibu? Berjuang sendirian mencari nafkah untukku agar bia hiudp dengan laayak. Pacaran, tapi modal orang tua. Miris ya?
*****
Oke, jangan lupa tinggalkan jejak agar author tetep semangat buat nulis ya!!! Thank You
YOU ARE READING
Love You Mama,
Teen FictionDua manusia lintas generasi yang berbeda dan mempunyai sudut pandang masing-masing. Ketika beranjak dewasa dan mulai berpikir dengan kritis, tanpa sadar ada sosok yang selalu mendampingi di setiap langkah.