Jubah Perangku

100 5 2
                                    


Namaku Diah Prameswari, panggil saja Diah. Aku seorang perawat yang menangani virus corona, sekarang tengah bersiap menggunakan Alat Pelindung Diri secara lengkap, masker double, kacamata, hazmat dan sarung tangan. Mungkin ibarat perang, ini adalah jubah kebesaran kami. Pakaian yang melindungi kami dari virus, semoga ya. Karena sudah ada beberapa teman sejawat kami yang gugur saat melaksanakan tugas.

Memakai baju ini, itu berarti kami harus siap untuk menahan lapar dan haus. Juga harus siap menahan buang air besar dan buang air kecil di popok selama kurang lebih delapan jam. Sekali hazmat terpakai, maka tak bisa dipakai lagi. Hal yang menjadi dilema kami, padahal kami juga manusia yang butuh makan dan minum juga ke kamar mandi. Bahkan, kami sholat juga mengenakan baju ini. Entah Tuhan menerima ibadah kami atau tidak, yang jelas kami akan selalu berdoa agar wabah ini segera berakhir.

Beberapa menit memakai baju ini, panas mulai terasa. Pengap, bahkan tak jarang merasakan pusing yang hebat. Akibat karet kaca mata yang menempel langsung pada kulit. Di balik itu, kami juga harus tetap bersabar menangani pasien yang diisolasi. Tak jarang, kematian seperti menjadi teman kami. Setiap hari kami menyaksikan bagaimana maut menjemput nyawa pasien yang sudah tidak bisa diselamatkan. Ada desakan emosional dari dalam hati. Sedih, kecewa, marah semua bercampur menjadi satu.

Kami seperti mandi keringat setelah membuka APD. Basah, seperti kehujanan, baunya juga jangan ditanya. Bau keringat menyengat. Barulah kami langsung mandi, tak peduli jam tiga pagi setelah shift selesai, atau virus akan tetap menempel pada kami. Barulah kami beristirahat dengan tenang.

Seperti malam ini, aku baru saja pulang ke tempat yang disediakan pemerintah khusus untuk tenaga medis. Agar kami tak perlu repot pulang pergi dengan jarak yang begitu jauh, dan berisiko menjadi Orang Tanpa Gejala untuk keluarga kami. Jadilah setiap hari rindu semakin bertumpuk.

Ponselku berbunyi ketika aku hendak membaringkan diri di ranjang. Bergegas kuraih ponsel itu di meja yang ada di samping. Di layar tertulis dari Ibu, melakukan panggilan video.

"Hap, Assalamu'alaikum ...," sapaku begitu wajah Ibu ada di layar ponsel.

"Wa'alaikumsalam ...," jawab Ibu.

"Ibu sehat kan?"

"Yang harusnya nanya itu Ibu, kamu sehat kan Diah? Nggak lupa sama vitamin kan? Apa perlu Ibu kirimin jamu ke tempat kamu?" tanya Ibu dengan nada khawatir.

"Alhamdulillah, Diah sehat. Ini tadi udah makan terus minum vitamin."

Ibu tersenyum mendengar jawabanku. "Ya udah, kalau gitu. Ibu cuma khawatir sama kesehatan kamu," ujarnya.

"Iya, Bu. Insyaallah Diah bisa jaga diri."

"Ibu kangen sama kamu Diah," lirihnya.

"Diah juga kangen sama Ibu," aku tak kuasa menahan air mata. Perlahan menetes begitu saja, setelah tersiksa oleh rindu yang tak kunjung terobati. Bebarapa kali, aku menyekanya agar tak terlihat oleh Ibu.

Ibu juga sama, air bening mengalir pelan di pipi rentanya. Terlihat jelas kesedihan, kerinduan Ibu yang tinggal jauh dariku. Meski masih satu provinsi, kami belum bisa bertemu. Untuk sementara, Ibu hanya tinggal berdua dengan asisten rumah tangga kami.

Beberapa saat kemudian, kami memutuskan untuk menghentikan obrolan agar aku bisa beristirahat. Obrolan yang singkat namun mengena, saling mengungkapkan kerinduan yang dalam. Memberi kekuatan satu sama lain ketika jarak memisahkan.

*****

Memakai APD adalah sebagian kecil perjuangan kami. Hal yang paling tak ku percaya ialah ketika ada orang yang positif terkena penyakit COVID-19, tapi menolak untuk kami bawa ke rumah sakit guna isolasi. Banyak yang masih berpikiran mereka akan dikucilkan, dijauhi dan berbagai pemikiran buruk lainnya. Entah, ada apa dengan pemikiran warga negara Indonesia?

Love You Mama,Where stories live. Discover now