Pagi setelah sarapan, Mama pamit berangkat untuk mengojek. Rutinitas yang sebenarnya biasa, namun menjadi hal luar biasa hari itu. Hari yang penuh dengan berita corona. Pemerintah menganjurkan untuk belajar di rumah, kerja dari rumah dan beribadah di rumah. Termasuk aku yang masih pelajar kelas X SMA. Aku terpaksa belajar dari rumah, selalu siap sedia di depan layar ponsel.
Buku-buku sudah berserakan di meja tamu. Tempat belajarku, selama di rumah. Mama siap-siap mengenakan jaket khusus ojolnya di depan pintu. Aku yang melihat Mama hendak mengojek, berusaha untuk menahannya.
"Mama mau ngojek? Masih bahaya Ma," cegahku.
"Iya kalau nggak ngojek, kita mau makan dari mana?"
"Tapi kan ...,"
"Udah nggak nggak apa-apa, Mama tetep jaga kesehatan kok. Pakai masker, bawa hand sinitizer, Mama juga udah bawa madu untuk jaga stamina." Mama terdengar seperti laporan, meski itu masih membuat hatiku risau. Aku mendekat ke arah Mama.
Kutarik reseleting jaket sampai ke atas dan berkata, "Ya udah, Mama hati-hati ya ..., Andra belajar dulu." Kucium tangannya yang kasar itu, tanda bahwa Mama memang bekerja keras untukku. Selepas Mama keluar, sendirianlah aku di rumah.
Semua nampak berjalan normal. Pandemi corona tak membuat takut para warga sekitar, bahkan masih saja ada warga nongkrong di warung kopi dekat rumah tanpa dibatasai jarak. Masih banyak ibu-ibu bergerombol belanja dengan tukang sayur hingga berjam-jam. Mereka belum sadar akan bahayanya virus ini hingga masih ada waktu untuk bersenda gurau seperti biasa.
Aku yang pelajar biasa, justru sedikit merasa cemas dengan adanya pandemi ini. Berita di media sosial membuat keadaan semakin genting, justru menambah kecemasanku. Beruntung sekali orang yang bisa bekerja dari rumah, tak seperi Mama yang harus tetap mengojek karena dari situlah penghasilannya. Meski selalu pulang dengan cerita pilu.
"Hari ini Mama Cuma dapet orderan dikit kak ...," Mama menceritakan semua itu sembari kita makan malam bersama di meja makan. Terdengar nada sedih dari ucapan Mama. Mama mengojek hampir belasan jam. Aku tak bisa membayangkan bagaiman lelahnya berjuang menunggu orderan di kondisi seperti ini.
Malam ini, kami makan dengan tumis buncis dan tempe. Di tengah pandemi seperti ini, memang harus hemat untuk segala sesuatunya.
"Iya nggak apa-apa Ma, yang penting Mama jaga kesehatan. Andra takut aja sama kesehatan Mama." Sesuap nasi masuk ke mulutku.
"Kamu nggak usah takut ya, Mama akan selalu jaga kesehatan. Mama sehat-sehat aja kan buktinya?" Mama mengatakannya sambil tersenyum, lantas menyendok nasi banyak-banyak. Mama memuji masakanku yang enak.
Semoga memang sehat-sehat saja, karena kabarnya virus ini juga tak menunjukkan gejala terlebih dahulu. Orang yang tiba-tiba sehat bisa saja positif terkena corona. Baru setelah masa inkubasi, gejala itu muncul dan si kecil ini memulai aksinya. Menyebalkan memang!
****
Di hari ke lima Mama masa karantina, Mama mulai batuk ringan. Aku melarang keras untuk mengojek. Lantas, kuantar Mama ke rumah sakit untuk berobat. Di saat keadaan seperti ini, kecemasanku semakin meningkat. Semoga hanya batuk biasa, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
Kami menunggu di ruang tunggu rumah sakit yang sepi. Rumah sakit melarang adanya kunjungan. Hanya diperbolehkan satu penunggu untuk orang yang sedang sakit. Suasana ini justru tambah mencekam.
Kami menunggu dengan was-was. Ekspresi Mama sulit untuk kubaca dari balik masker, meski aku tahu Mama juga sedikit cemas dengan kondisi kesehatannya. Hingga kami bertemu dokter lengkap dengan Alat Perlindungan Diri (APD).
Mama menjalani serangkaian test untuk covid-19. Hingga hasil test keluar, Mama berhenti dari mengojek. Kami bergantung pada tabungan yang ada di rumah. Hampir seminggu kami menunggu hasil dari lab. Kondisi Mama semakin memburuk terlebih, Mama mempunyai riwayat asma. Aku mengajaknya ke rumah sakit lagi. Hari itu juga Mama diisolasi. Sejalan dengan hasil test, Mama menderita covid-19. Sedangkan aku ditetapkan sebagai Orang Dalam Pengawasan.
Kehidupan berubah drastis. Aku mulai mengisolasi diri. Berita Mama dirawat menjadi bahan gosip satu kampung. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaan di luar. Apakah sekarang mereka sadar atau justru menghujatku? Satu-satunya yang aku tahu adalah Pak RT yang mengirimiku makanan tiap pagi komplit dengan lauk pauk. Suaranya yang serak, akan memanggil namaku ketika beliau sampai. Makanan ditaruh begitu saja di depan pagar. Lantas, aku yang bergegas mengambil.
Dua minggu aku menjalani hidup dalam keterasingan. Benar-benar sepi. Tak ada siapapun. Mama diisolasi, sedangkan aku tak pernah tahu Papaku seperti apa. Mama masih sering menelponku selama isolasi.
"Ma, aku kangen ...," isakku ketika video call di kamar.
"Sabar ya ...." Mama batuk ringan. Wajahnya semakin kurus. Latar tempatnya hanya putih.
"Aku sendirian di rumah. Nggak ada yang bisa diajak ngobrol, nggak ada yang bisa di ajak bercanda."
Keadaaan kami berdua memilukan. Semoga saja kami berdua bisa melewatinya dengan baik. Namun, ternyata semua hanya angan-angan. Tepat setelah dua minggu aku selesai diisolasi, aku mendapat kabar buruk. Hal terburuk yang berusaha aku singkirkan sejak aku dan Mama berpisah.
Mama menghembuskan napas terakhirnya. Penyakit covid-19 telah memperburuk penyakit asmanya. Pikiranku kosong kala itu. Petugas medis bilang akan memakamkan Mama di Pemakaman dekat rumah dengan prosedur medis yang sudah ditetapkan. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, tak ada bahu untuk bersandar, tak ada siapapun. Aku diam memeluk lutut, meruntut kejadian demi kejadian yang begitu cepat. Hal yang paling menyedihkan adalah di saat terakhir Mama, aku tak bisa mendampinginya. Semua terasa menyakitkan, hingga tangisanku tak mampu keluar.
Suara sirine ambulance terdengar jelas lewat di depan rumah. Itu pasti Mama, batinku. Mama akan dikebumikan sekarang. Pemakaman berjarak satu kilometer dari perkampungan warga, jarak yang cukup untuk terhindar dari virus corona. Sumber air juga jauh dari pemakaman. Aku percaya tenaga medis sudah melakukan semua sesuai protokol yang berlaku.
Suara sirine semakin kencang, seolah berdiam di tempat. Aku nekat untuk keluar. Seorang tenaga medis lengkap dengan APD diserang oleh warga. Mereka marah-marah dan mengusir petugas agar tak mengebumikan Mama pemakaman dekat sini.
"Jangan di sini! Pergi!" teriak salah satu warga. Tangannya sudah merekam dengan ponsel.
"Tolak! Kami nggak mau ketularan corona!" teriak warga lain.
"Tolak!"
"Kami sudah izin untuk memakamkan di sini. Semua sudah sesuai protokol ...," jelas petugas medis tersebut.
"Pokoknya kami tidak mengizinkan!" teriak warga lain. Ak megindahkan penjelasan dari ahlinya, merasa paling tahu. Tangan mereka tetap sibuk dengan kamera ponsel untuk merekam.
"Tenang saudara-saudara, semua ini sudah sesuai peraturan medis. Di jamin tidak ada penularan jika jenazah sudah dikebumikan." Pak RT mengangkat suara.
Mereka justru bergerombol tanpa ada ada jarak, namun berteriak menolak jenazah covid-19. Miris! Mulut dan aksi tak bisa bekerja sama!
Aku yang masih berdiri di pagar depan rumah berteriak,"Yang boleh menghalangi pemakaman Mama saya adalah orang yang patuh terhadap prosedur pencegahan. Mama saya kena corona karena terpaksa keluar mencari nafkah. Mama saya sudah melakukan segala aturan menjaga kesehatan. Sedangkan kalian? Apa kalian tetap di rumah? Apa kalian berhenti kumpul-kumpul?"
Semua diam mendengar segala ucapan dari gadis SMA. "Kemanusiaan kalian sudah hilang termakan ego!" bentakku, "mulut dan aksi nggak sejalan! Munafik!" Aku menumpahkan segala emosiku.
Hatiku sudah sakit karena kehilangan Mama, ditambah dengan perlakuan mereka yang tak lebih dari binatang! Hanya bisa berkomentar, manusia bebal! Akhirnya ambulance berjalan lagi, membelah kerumuan orang. Mereka bubar masuk ke rumah masing-masing. Aku masuk kembali ke rumah dan menangis sejadi-jadinya. Melepaskan segala perasaan sesak. Aku benar-benar sendirian sekarang.
YOU ARE READING
Love You Mama,
Teen FictionDua manusia lintas generasi yang berbeda dan mempunyai sudut pandang masing-masing. Ketika beranjak dewasa dan mulai berpikir dengan kritis, tanpa sadar ada sosok yang selalu mendampingi di setiap langkah.