Assalamu'alaikum semua.
Terima kasih sudah berkenan mampir di "Halaqah Cinta". Jangan lupa untuk follow akunku dan mohon dukungannya untuk meninggalkan jejak di kolom komentar dan tekan vote di setiap babnya.
Diharapkan untuk baca detail tiap narasi yang kusampaikan. Karena di beberapa bab awal cerita adalah flashback dari cerita utama. Karena kisah ini menceritakan tentang korban pelecehan seksual, aku berharap pembaca bisa bersikap bijak.
Selamat menikmati tiap goresan aksaraku.
Wassalamu'alaikum.
🌹🌹🌹
Kenapa harus aku? Dari sekian banyak orang di bumi ini, kenapa harus aku?"Kalimatnya diiringi embusan napas penuh derita, lirih terdengar di antara deburan ombak. Mata indah yang memantulkan cantik dan hangatnya langit senja itu memancarkan kepedihan. Bulir kepiluan tak henti membasahi pipinya. Tanpa alas kaki, perempuan muda itu melangkah perlahan di sepanjang tanggul berbatu yang menjorok ke lautan.
Tatapannya terus tertuju pada ujung tanggul, mengabaikan segelintir orang di sana. Ada pria yang tenang menunggu ikan terjebak di kail pancingnya, sepasang kekasih yang menikmati senja, dan seorang pemuda yang terus membidik wanita paruh baya menggunakan kamera. Mereka terlihat bahagia, sedang ia semakin tenggelam dalam kesengsaraan.
Langkahnya terhenti, ia memejamkan mata dan baru membukanya setelah mendapat keyakinan. Senyum hambar merekah di bibir tipisnya. Langkah kecilnya perlahan berubah cepat hingga tiba di ujung tanggul. Kemudian melompat, membuang tubuhnya ke laut. Seketika ia dihantam gelombang dan terombang-ambing. Keadaan menjadi tenang ketika tubuhnya perlahan tenggelam.
Sudah ratusan kali ia ingin mengakhiri hidup, tapi tidak kunjung mendapat kesempatan. Menyangkal nasib buruk sudah ia lakukan hingga merasa lelah. Tiap detik waktunya hanya dipenuhi luka dan amarah. Setiap hari sendiri, menangis dalam sepi. Bahkan, hanya untuk tidur pun sulit dilakukan, walau tubuh, hati dan pikirannya sudah sangat lelah.
Hidupnya sudah tak berarti. Dia hanya seonggok daging bernyawa tanpa kemerdekaan. Saat mendapat kesempatan untuk melihat dunia luar, ia bertemu dengan orang-orang yang dikiranya baik. Namun, ternyata malah menggiringnya ke lubang kenistaan yang lebih dalam.
Dunia ini tidak baik dan bukan untuknya, yang bahkan menjadi hukuman baginya. Katanya dunia ini banyak memiliki orang-orang baik, tapi kenyataannya tidak seperti itu. Dia tidak bisa mempercayai siapapun. Manusia adalah monster sesungguhnya.
"Hari ini ... Miray Akina akan mati. Aku sudah sangat lelah dengan dunia ini."
Kina, nama perempuan itu, masih hidup. Gelembung kecil mulai keluar dari hidung, pertanda paru-paru meminta oksigen. Refleks otaknya memerintahkan untuk membuka mulut, berharap ada oksigen yang masuk. Namun, airlah yang lebih banyak memenuhi mulutnya, sehingga epiglottis spontan bekerja, menahan agar air itu tidak masuk ke saluran pernapasan. Sangat dilema, ia jadi kesulitan bernapas.
Kina mulai tersiksa dengan keadaan itu. Namun, tidak ada sedikit pun niat untuk menyelamatkan diri walau ia bisa berenang. Menyakitkan, tapi ia menahan, ia sudah merasakan sesuatu yang lebih menyakitkan dari kematian. Sedikit lagi ..., sedikit lagi semua rasa itu akan hilang, pikirnya. Ia benar-benar akan bebas sekarang. Kesadarannya mulai hilang, tak ada lagi gelembung tanda kehidupan. Saat tubuhnya mulai tenggelam, sebuah tangan terulur, meraih tubuh Kina, dan menariknya ke permukaan.
"Hirka!" teriak seorang wanita paruh baya di ujung tanggul. Teriakannya menggema melihat pria muda berhasil menolong Kina yang dengan sengaja menjatuhkan diri ke laut.
Pria itu membawa Kina yang terkulai lemas ke tepi pantai. Beberapa orang di tanggul berlari dan menghampirinya. Pantai yang baru dijadikan objek wisata itu tidak mempunyai pengawas. Hal itu membuat Hirka harus melakukan penyelamatan seorang diri. Ia membaringkan Kina di atas pasir pantai, untuk memeriksa pernapasan dan denyut nadi. Matanya terbelalak saat hampir sepuluh detik tidak mendapatkan detak jantung. Pria itu menatap jam di pergelangan tangan, memprediksi berapa lama perempuan itu tenggelam.
Belum sepuluh menit. Masih ada oksigen yang tersisa di dalam paru-paru. Ia berlutut, lalu menumpuk kedua tangan di tengah dada Kina dan mulai melakukan resusitasi jantung paru. Hirka melakukan sesuai dengan standar operasional prosedur penyelamatan. Dalam satu menit, ia memompa jantung sekitar tiga puluh tekanan dan terus berlangsung sampai hitungannya sesuai dengan yang ia pelajari.
"Bagaimana, Nak?"
Pertanyaan sang bunda diabaikan karena ia harus fokus dengan tekanan di dada Kina. Target hitungan tercapai, tapi tidak ada tanda-tanda Kina akan sadar. Kali ini, dengan hati-hati Hirka angkat dagu perempuan tersebut. Ia menjepit hidung Kina untuk memberikan napas lewat mulut perempuan tersebut. Dua kali tiupan dalam satu detik. Pada tiupan ketiga, air menyembur dari mulut Kina.
"Alhamdulillah," ucapnya ketika perempuan itu batuk untuk mengeluarkan sisa air di saluran pernapasan.
"Telepon ambulans, Mas?" tanya seorang pemuda yang berdiri di belakang Hirka.
"Enggak usah, Mas. Biar kami sendiri yang antar ke rumah sakit."
"Bun!" seru Hirka, tak setuju dengan jawaban bundanya.
"Harus ada yang mengawasi, Nak." Yusa, Bunda Hirka mendekati Kina yang masih terbatuk-batuk. Ia menepuk punggung Kina yang sudah duduk dan tertunduk.
"Ikut kami untuk periksa, ya, Nak?" ajak Yusa.
Kina menepis apapun yang menyentuhnya. Ia meraba jantung, berdetak meski tak normal. Rasanya menyakitkan sekali mendapati jantung itu masih berfungsi. Tangannya mencengkeram baju di bagian dada. Matanya terpejam erat. Paras cantiknya berubah merah padam seakan tengah menjerit dalam diam.
Saat sebuah tangan menyentuh punggungnya, Kina mendongak dan berteriak keras. Air mata bercucuran di antara pekikan-pekikan kebenciannya. Tangannya tak henti memukul dada, kepala, dan menarik rambut sekencang mungkin. Yusa mencoba menenangkan, tetapi tidak membuahkan hasil. Kina terus menjerit sambil menendang pasir berulang kali hingga membuat kakinya lecet.
"Ada kami di sini, Nak. Ada kami. Kita bisa bicarakan semuanya."
Kina melirik Yusa, ia memperhatikan tubuh wanita paruh baya dan juga tiga orang yang berdiri di hadapannya, tidak ada yang basah. Ia menoleh ke ke sisi yang lain. Seorang pria bermata tajam memandangnya penuh tanda tanya. Kening Kina mengernyit, matanya memicing. Ia hafal betul pemilik mata itu.
"Kenapa kamu tolong aku?" tanya Kina dengan lirih, tapi penuh penekanan.
Hirka ingat siapa perempuan yang ada di hadapannya.
"Kamu mengingatku, 'kan?" Kina kembali bertanya. Sorot matanya menunjukkan kebencian mendalam. "Kenapa kamu tolong aku?" teriaknya. "Kenapa kamu tolong aku? Kenapa!?"
"Nak! Tenang, Nak." Yusa kembali menenangkan Kina, tetapi tangannya ditepis.
"Harusnya kamu menolongku saat itu! Bukan sekarang!" jerit Kina lagi. "Kamu yang buat aku seperti ini! Kamu membawaku pada laki-laki yang membuatku semakin jatuh dalam kehinaan! Ini semua salah kamu!"
Dahi Hirka semakin berkerut. Sepasang alis tebalnya hampir menyatu, bingung dengan tuduhan Kina.
Kina memejamkan mata, menelungkupkan wajah di atas kedua lutut yang tertekuk. Tangisnya pecah dan terdengar memilukan. Ia harus menerima kenyataan pahit lagi karena tidak berhasil mengakhiri hidup. Ia harus berteman lagi dengan kepedihan, kebencian, dan kemarahan. Ditambah lagi, muncul hal yang membuatnya semakin benci dan marah. Hirka, Pria itulah membuat dia berada di titik ini.
🌹 BERSAMBUNG 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAQAH CINTA
Romance[TERSEDIA VERSI CETAK di Gramedia] "Kenapa harus aku? Dari sekian banyak orang yang ada di bumi, kenapa harus aku? Jika Tuhan memang ada, kenapa Dia tidak menolongku?" *** Miray Akina berada di titik terendah hidupnya. Terlalu banyak luka membuatnya...