03

3.4K 586 12
                                    

Dalam sebuah mobil tua, Kina menunggu kedatangan Aqlan kembali setelah beberapa menit yang lalu pergi. Ia tak tahu di mana ia sedang berada, yang ia ingat perjalanan tadi cukup lama dan jauh. Dan saat ini, ia berharap Pria yang menolongnya tadi berhasil meminta ijin  pada kedua orang tuanya agar ia bisa berlindung di sana.

Selang beberapa waktu, Aqlan kembali bersama seorang wanita paruh baya dengan paras yang meneduhkan. Beberapa pemuda yang ada di luar mobil menjaga Kina berdiri takzim ketika melewati mereka. Wanita itu adalah Ummi Afifah, istri dari pemilik pesantren sekaligus ibu dari Aqlan.

"Assalamu'alaikum, Nak?" sapa Ummi Afifah ketika membuka pintu mobil.

Kina tidak memberikan jawaban, ia justru mendekati Ummi Afifah dan meraih kedua tangan wanita tersebut dengan gemetar. "Izinkan saya tinggal di sini untuk beberapa waktu, Bu!" pintanya. Melihat orang-orang itu membuat Kina yakin jika dia akan aman bersama mereka.

"Kita bicara di dalam, ya?" ajak Ummi Afifah dengan anggukan kecil. Ia menarik pelan tangan perempuan itu untuk keluar dari mobil.

Kina menuruti ke manapun Ummi Afifah menuntun. Sedangkan Aqlan berjalan beberapa langkah di depannya.  Mereka menyusuri tepian masjid besar yang ada di tengah komplek pesantren. Sampai akhirnya terlihat papan nama bertuliskan gedung putri.

Kina mengira akan berhenti di sana, akan tetapi langkah ibu dan anak itu terus berlanjut. Mereka lewat di depan pagar pembatas gedung putri yang cukup luas dan tiba di sebuah rumah sederhana dengan banyak tanaman di halaman rumah.

Ketika masuk ke dalam rumah, seorang pria paruh baya berkaus putih dengan sarung coklat muda duduk di ruang tamu, menunggu kedatangan tamunya. Buya Bisri, panggilan para santri pada Kiai pemilik pesantren. Sebagai tuan rumah, Buya mempersilakan tamunya untuk duduk. Tak lama setelah Kina duduk, seorang gadis yang terlihat lebih muda dari Kina datang membawakan teh.

"Di minum dulu, Nak," ujar Ummi Afifah. "Teh buatan Bibah, enak. InsyaAllah bisa bikin hati tenang."

Dengan tangan yang gemetar Kina meraih cangkir teh itu. Namun, ia letakkan kembali ketika air di dalamnya berjatuhan ke lantai. "Maaf," sesalnya.

Ummi Afifah pindah duduk di samping Kina dan menggenggam kedua tangan itu. "Kamu bisa cerita pada kami agar perasaan kamu lega," ujarnya.

Kina menggeleng. Ia menatap cangkir teh di depannya masih dengan rasa ketakutan. "Bisakah saya ti-tinggal di sini t-tanpa memberikan alasan apa yang terjadi dengan saya?" tanyanya gugup. Ia mendongak, menatap penuh harap pada semua anggota keluarga itu bergantian.

"Kamu bisa tinggal di sini tanpa 'tapi'," ujar Buya Bisri. Tentu saja keputusan itu membuat terkejut istri dan anak-anaknya. Pasalnya, tidak semua orang bisa tinggal di dalam pesantren tanpa alasan dan asal usul yang jelas.

"Benarkah Anda mau menolong, saya?" tanya Kina tak percaya dan lekas mendapat anggukan dari pemilik pesantren tersebut.

Ummi Afifah masih terheran, tetapi ia yakin jika suaminya punya alasan kuat kenapa mau mengijinkan perempuan ini untuk tinggal. Siapapun akan iba dan memberi pertolongan tanpa membutuhkan alasan ketika melihat keadaan Kina saat ini. Meskipun ada rasa takut, tapi kepedulian pada sesama menjadi prioritas utama.

"Siapa nama kamu, Nak?" tanya Ummi Afifah.

"A-Akina. Kina, Anda bisa panggil saya Kina."

"Mbak, muslim?" tanya Bibah polos, dan mendapat tatapan protes dari kakak dan kedua orangtuanya.

"Apa aku harus menjadi muslim untuk bisa tinggal di sini?" Kina balik bertanya.

Bibah menggeleng cepat dan memberi penjelasan, "Enggak, Mbak. Hanya saja ... semua di sini harus memakai ini." Ia menunjukkan ujung kerudungnya pada Kina.

HALAQAH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang