04

3K 561 11
                                    

Hari pertama tinggal di pesantren, Kina habiskan di dalam kamar pengurus asrama putri. Perempuan itu hanya keluar saat mandi pagi dan menjelang ashar. Yang ia lakukan hanya duduk sambil memeluk lutut di kursi yang ia hadapkan ke jendela. Ia menerawang ke arah lapangan berdebu dan gedung sekolah santri putri.

Rambut hitamnya yang bergelombang dan hampir menyentuh pinggang, dibiarkan terurai karena basah. Ia menanggalkan hijab karena hanya dipakai ketika pergi ke luar kamar saja. Piring di atas meja yang berisi sayur bening dan tempe goreng dengan sedikit sambal masih utuh tak tersentuh. Bukan tidak menyukai, tapi Kina sedang tidak berselera untuk makan. Saat ini, dia hanya ingin menenangkan diri dan menikmati hari baru tanpa ada seorang pun yang tahu pribadi dan masa lalunya.

Meskipun banyak mata yang menganggap Kina aneh, terlihat waspada, dan  membenteng diri agar tidak terlibat dengannya, perempuan itu mencoba untuk tetap bertahan di sana. Ia tidak menyukai itu, tapi ia lebih tidak menyukai rumahnya. Dan artinya, ia harus menerima apa pun itu. Beruntungnya, Ummi Afifah, Bibah, ketua pesantren putri, dan para pengurus bersikap baik serta membuatnya nyaman berada di sana.

Tiga hari berikutnya, Kina masih melakukan hal yang sama. Ia mengurung diri dan tidak mau berbicara dengan siapa pun. Yang keluar dari bibirnya hanya ucapan maaf dan terima kasih. Matanya lebih banyak terjaga dibandingkan terlelap. Bukan hal baru, memang seperti itu hari-hari yang ia lakukan sebelumnya.

Di malam keempat, Ummi Afifah datang ke kamar Kina seorang diri. Banyak hal yang dibicarakan istri dari pemilik pesantren itu, di antaranya hal-hal ringan seperti keseharian yang ada di lingkungan pesantren. Ia ingin menemani Kina karena nalurinya berkata bahwa Kina berbeda dari gadis lain.

"Apa kamu mau membantuku menyiram dan merawat tanaman saya di rumah?” tanya Nyai Afifah. “Setiap jam enam pagi dan jam empat sore."

Kina mengangguk. Tidak ada alasan. Ia hanya merasa harus melakukannya.

Keesokan harinya, tepat pukul enam pagi, Kina mendatangi rumah pemilik pesantren. Ia diantar oleh Ratih. Hijab segi empat yang ia gunakan untuk menutup kepala memperkuat citra kecantikan wanita Asia yang Kina miliki. Ia terlihat teduh meski tanpa senyum.

Ummi Afifah mengajak Kina ke halaman depan, menjelaskan berbagai macam tanaman di sana dan cara untuk merawatnya.

Dua hari pertama, Kina ditemani oleh Ummi Afifah. Pada hari selanjutnya, ia sudah mendapat kepercayaan. Setiap hari Kina melakukan aktivitas yang sebenarnya membuat dia tak nyaman. Cara pandang santri putri yang lewat di depan halaman membuat Kina risih.

“Siapa, sih, itu? Kok, di situ?”

“Itu cewek bawaan Gus Aqlan.”

Kalimat yang sayup-sayup sering terdengar oleh Kina. Ucapan itu terdengar biasa bagi orang lain, tetapi baginya menyakitkan. Ia merasa seperti terdakwa di kursi pesakitan. Tatapan sinis dan curiga yang mereka tujukan kepada Kina membuatnya jatuh dan merutuk diri sendiri.

🌹🌹🌹

Pagi ini Kina berjongkok di antara tanaman perdu yang menghiasi halaman. Tatapan matanya terlihat kosong dan pikirannya menerawang. Jemari lentiknya mencubiti kuku jari tangan hingga tanpa sadar menciptakan goresan luka.

"Ah!" rintihnya. Ia menarik napas dan menghelanya beberapa kali, berusaha menguasai diri. Namun,  perhatiannya teralih pada ulat hijau yang tengah menggerogoti daun. Bahunya bergidik karena merasa geli dan jijik.

"Sedang apa?"

Pertanyaan itu membuat Kina terperanjat. Ia begitu terkejut dan hampir jatuh saat melihat Aqlan mendekatinya.

"Dia menarik buatmu?" tanya Aqlan sambil menatap ulat hijau itu.

Kina menggeleng. "Menjijikkan," ucapnya lirih. Ia hendak mematahkan ranting kecil tempat ulat itu berada.

"Kenapa mau dipatahkan?" sergah Aqlan.

"Dia akan merusak tanaman Ummi, Mas."

"Tapi, ia hanya makan. Bertahan hidup,” ujar Aqlan, “Ia tidak bersalah. Daun adalah makanannya, 'kan?"

Gerakan tangan Kina terhenti, lalu menjauhkan tangannya dari ranting.
“Dia memang menjijikan, menggelikan, dan membuat orang lain takut, tapi itu bukan alasan bagi kita untuk menghindarinya. Bukan salahnya diciptakan jadi ulat. Tanpa kita sadari, dia adalah makhluk yang ikhlas dalam memberikan imbalan yang besar bagi orang-orang yang pernah mencaci dan merutuknya."

Kina berdiri. Ia merasa kesal saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Aqlan. Ia merasa bahwa dirinya seperti ulat itu.  "Ikhlas seperti apa yang bisa dilakukan makhluk sekecil itu?" Kina bertanya dengan suara yang sedikit ditinggikan. Ucapan Kina membuat pria bertubuh tinggi itu terkejut.

Aqlan menunjuk beberapa bunga di sekitarnya secara bergantian. "Kamu suka lihat bunga-bunga itu?"

Kina bergeming. Ia tidak mengatakan suka ataupun membenci bunga-bunga cantik yang ditanam oleh Ummi Afifah.

"Bunga itu bisa tumbuh, salah satunya, berkat bantuan ulat.  Ia yang menurut sebagian orang menjijikkan adalah makhluk yang berjuang keras dalam hidup. Ia harus menjadi asing dalam kehidupan, diam sendiri menahan lapar dalan ruang kecil bernama kepompong untuk menjadikan dirinya sosok dengan kelebihan baru. Kelak dia akan punya sayap. Dengan sayap itu, dia akan membalas budi tumbuhan yang pernah ia santap dedaunannya. Ia akan sebarkan serbuk sari untuk menumbuhkan buah yang mengenyangkan perut manusia. Juga pada bunga-bunga yang akan memanjakan pengelihatan manusia yang mungkin dulu pernah—"

"Diam!" Kina membentak dengan mata yang telah berembun. Kalimat yang keluar dari mulut Aqlan seakan sedang mengupas semua tentang dirinya. "Jangan bicara lagi!" lanjutnya. Kini suaranya berubah lirih.

Lagi-lagi Aqlan dibuat kaget dengan sikap perempuan di depannya tersebut. Kadang-kadang ia menjadi pendiam, kadang-kadang menjadi pemarah. Usianya sudah dua puluh tahun. Seharusnya dia sudah bisa mengendalikan diri. Seperti itu pemikiran Aqlan. Namun, di sisi yang lain, Aqlan juga menyadari bahwa perempuan itu sedikit berbeda.

"Aku akan pergi," ujar Aqlan.

Sebelum pria itu beranjak, Kina lebih dulu meninggalkan Aqlan. Perempuan itu berlari ke arah belakang rumah tanpa tahu tujuan. Sampai akhirnya ia menemukan tanah kosong dengan dinding tinggi, batas wilayah pesantren tempat ia menumpang tinggal. Ada pintu jeruji besi yang  menunjukkan pemandangan sawah hijau yang luas di baliknya.

Kina dekati pintunya yang tidak terkunci. Tangannya sudah ingin membuka, tapi gemuruh di dada membuat Kina ragu untuk melakukannya.

"Itu sawah milik pesantren."

Lagi-lagi Kina terkejut oleh suara yang sama. Ia mengernyit dan menunjukkan rasa tidak suka.

"Aku yang memegang kunci pintu ini karena sering menghabiskan waktu di salah satu saung yang ada di sana," imbuh Aqlan sebelum Kina berprasangka buruk kepadanya.

Kina kembali memperhatikan sawah di depannya yang tersekat pintu berjeruji.

"Kamu bisa menenangkan diri di sana. Aku letakkan gembok dan kuncinya di sarang burung kosong yang paling dekat dengan pohon pisang itu." Aqlan menunjuk sarang burung yang berada beberapa meter dari tempatnya berdiri. "Kalau kamu sudah selesai, jangan lupa kembalikan lagi."

Aqlan membawa kunci dan gembok pada tempat yang dimaksud kemudian pergi, sedangkan Kina memantapkan diri untuk melangkah dan keluar.

Terpaan angin menyambut dan memberi Kina sebuah ketenangan. Ia pejamkan mata hingga bulir air jatuh membasahi pipi. Meski hanya tiupan angin, Kina merasakan kedamaian dan kenyamanan yang selama ini tidak pernah ia dapatkan.

Kina kembali membuka mata. Langit senja yang membiaskan cahaya keemasan di cakrawala, sawah hijau yang membentang luas bak permadani, gemercik aliran sungai, dan cicit burung yang terbang di sekeliling membuatnya seolah-olah merasakan kebebasan.

"Harusnya aku bisa setiap saat menikmati ini! Aku ini hidup! Aku manusia! Aku manusia! Aku manusia, bukan binatang menjijikkan yang terkurung di dalam hinaan dan kebencian!" teriak Kina. Ia meluapkan emosi yang selama ini mengimpit dada.

🌹 Bersambung 🌹


HALAQAH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang