"Aku bisa belajar hal baru."
Hirka tersenyum remeh saat mendengar ucapan Kina. "Aku butuh seorang profesional," ujarnya.
"Semua profesional awalnya pemula."
"Aku tidak butuh pemula." Hirka berdiri dan meninggalkan meja makan. Ia akhiri pembicaraan yang baginya tak berarti itu.
"Kumohon ... beri aku pekerjaan," pinta Kina dengan suara yang bergetar.
Hirka menghentikan langkah. Ia berbalik dan menatap perempuan yang tengah berdiri dan memberinya tatapan memohon. Meski wajah Kina memelas, sorot matanya tetap menunjukkan kebencian pada Hirka.
"Aku butuh uang untuk pergi dari kota ini," desak Kina.
"Kau tidak punya tanda pengenal, passport, dan dokumen-dokumen penting yang dibutuhkan untuk masuk ke timku."
Kali ini Kina terdiam. Ia membenarkan semua perkataan Hirka. Tidak mungkin ia kembali ke rumah hanya untuk mengambil dokumen-dokumen pribadinya. Kina menghela napas berat. Ia beranjak pergi ke gudang, meletakkan peralatan berkebun, dan kembali ke dalam rumah.
"Kina," panggil Yusa, lalu menarik Kina ke dapur. "Maaf, ya. Bunda enggak bisa bantu jika itu berhubungan dengan pekerjaan Hirka.".
"Saya harus mendapatkan uang, Bun."
"Apa yang bisa Bunda lakukan untuk membantumu?"
"Apa saya terlihat seperti seorang pengemis?" Kina bertanya dengan nada marah.
Seperti inilah reaksi Kina ketika tahu apa yang diinginkan tidak bisa didapatkan. Ia begitu marah dan merasa terpuruk. Namun, Kina segera menyadari kesalahannya saat melihat sorot kesedihan di mata Yusa. Ia segera pergi setelah meminta maaf kepada wanita yang selama ini menjaganya.
—🌹🌹🌹—
Seharian Kina tidak turun ke lantai satu. Selain karena belum bisa mengendalikan diri, juga karena Hirka dan Faro sedang berdiskusi di ruang tengah. Menjelang petang, ia menenangkan diri di rooftop yang biasanya digunakan untuk menjemur pakaian. Kina menyukai tempat itu karena merupakan bagian paling tinggi di rumah itu. Di sana ia merasa bebas untuk menatap langit.
Kina duduk di bangku kayu. Ia menutup mata, lalu menikmati hangatnya sore yang sedikit berangin. Rambut panjangnya yang mulai kering usai keramas melambai-lambai karena tertiup angin. Paras ayu khas wanita Asia-nya terlihat tenang meskipun otaknya sedang memikirkan cara mendapatkan identitas diri dan bisa menyusul tantenya ke Jepang.
"Eh, Mbak Kina di sini?"
Kina membuka mata. Ia melihat wanita muda berhijab yang usianya lebih tua beberapa tahun darinya. Kina berdiri dan hendak membantu Rami mengangkat satu per satu baju yang menggantung di jemuran.
"Mbak Rami," panggil Kina.
"Ya?"
"Mbak Rami kerja di sini pakai KTP?" tanya Kina.
"Enggak, sih, Mbak. Wong, saya ini anaknya yang dulu kerja di sini juga. Mbok saya ikut almarhum Bapak sebelum kenal sama Ibu sampai Mas Hirka kelas enam SD terus saya yang gantiin."
Kina mengangguk. "Lama, ya, Mbak?" tanyanya.
"Dari remaja, Mbak!" sahutnya disertai cekikikan. "Kenapa, toh, Mbak?" Ia balik bertanya.
"Mbak Rami bisa bantu aku cari kerjaan?"
"Kalau tanya kerjaan ke saya ini, ya, ada aja, Mbak. Tapi, kerjaannya jadi pembantu gini. Mana cocok buat Mbak Kina yang pendidikannya pasti tinggi."
"Saya SD saja enggak lulus, Mbak."
"Hah?" Rami segera menutup mulutnya dan menatap Kina dengan tidak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAQAH CINTA
Romance[TERSEDIA VERSI CETAK di Gramedia] "Kenapa harus aku? Dari sekian banyak orang yang ada di bumi, kenapa harus aku? Jika Tuhan memang ada, kenapa Dia tidak menolongku?" *** Miray Akina berada di titik terendah hidupnya. Terlalu banyak luka membuatnya...