“Karena kamu berharga."
Jawaban singkat itu membuat Kina memutuskan untuk beristirahat di rumah Yusa. Wanita paruh baya itu sangat perhatian. Tutur kata dan sifat keibuannya mengingatkan Kina kepada Ummi Afifah. Mereka sama-sama baik dengan cara masing-masing. Sayangnya, Kina tidak menyukai putra dari wanita-wanita ramah itu.
Setelah pergi beberapa saat, Yusa kembali sambil membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauk dan segelas air untuk Kina. Ia meletakkannya di atas meja, lalu berpesan kepada perempuan muda tersebut untuk lekas menyantapnya.
Beberapa jam berlalu. Udara dingin Kota Malang membuat permukaan nasi yang masih utuh dan tak tersentuh itu mengering. Perempuan itu masih termenung di atas kasur seraya memperhatikan langit gelap yang perlahan berubah terang. Suara burung gereja mulai terdengar nyaring di luar. Sesekali terdengar juga kicauan burung-burung peliharaan yang entah milik siapa.
Perlahan Kina turun dari tempat tidur. Kakinya sakit, tapi masih bisa untuk berjalan. Ia tertatih mendekati jendela dan membuka gorden yang menjuntai. Dinding rumah tetangga yang berjarak sekitar empat meter menjadi objek pertama yang ia saksikan. Kina turunkan pandangannya. Ternyata ia sedang berada di lantai dua. Dibukanya jendela kaca dengan tepian stainless itu. Aroma rumput yang basah menguap dan memberinya ketenangan.
Tok! Tok! Tok!
"Bunda masuk ya, Ki."
Kina membalikkan badan saat pintu kamar terbuka. Dari balik pintu, Yusa muncul dengan tumpukan baju di tangan, lalu menghampirinya.
"Buat ganti," ujar wanita paruh baya tersebut seraya meletakkannya di atas meja yang ada di dekat Kina. Ia memperhatikan Kina kemudian ganti menatap paras ayu perempuan muda itu. "Enggak bisa tidur?" tanya Yusa.
Kina mengangguk.
"Maaf, ya, kamarnya sempit. Cuma kamar ini yang kosong. Di bawah dipakai Mbak Rami, asisten rumah tangga kami."
Kina menggeleng, lalu menjawab dengan cepat. "Bukan seperti itu."
Yusa tersenyum mendengar jawaban Kina. Ia berpikir keadaan Kina mulai tenang.
"Terima kasih sudah merawat saya."
"Sama-sama." Yusa menarik satu tangan Kina dan menggenggamnya. "Kalau kamu merasa nyaman, kamu boleh beristirahat di sini sementara waktu."
"Saya akan membantu pekerjaan di rumah ini."
Yusa tidak memberikan jawaban. Wanita hanya mengulas senyum. Tangan kanannya mengusap satu sisi pipi Kina.
"Bersihkan tubuhmu di kamar mandi yang ada di sebelah kamar ini. Bunda sudah siapkan perlengkapan mandimu di sana."
"Terima kasih."
"Bunda tunggu di meja makan untuk sarapan, ya!" ujar Yusa seraya mengambil piring dan gelas air yang ia bawa semalam, kemudian beranjak ke luar kamar.
Kina bergeming. Meski terlihat menerima, sebenarnya ia masih sangat sulit untuk mempercayai orang lain. Semalam suntuk ia berpikir. Jika tidak bisa meninggalkan dunia ini, ia harus menghilang dari para manusia bejat dan orang-orang yang mengetahui masa lalunya. Oleh karena itu, ia harus berada di tempat ini. Ia pun harus bekerja dan mengumpulkan uang.
Kina sudah memutuskan untuk pergi sejauh mungkin. Ia akan menemui Yuri, adik kandung sang mama. Yuri adalah satu-satunya keluarga Kina yang berasal dari Jepang.
Dahulu, Yuri dan Ayumi datang ke Indonesia untuk menjalani progam pertukaran mahasiswa. Sejak menyelesaikan pendidikan dan menghadiri pernikahan kakaknya, Yuri kembali ke Jepang. Seingat Kina, saat kecil ia beberapa kali mendapat kunjungan dari tantenya tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
HALAQAH CINTA
Romantizm[TERSEDIA VERSI CETAK di Gramedia] "Kenapa harus aku? Dari sekian banyak orang yang ada di bumi, kenapa harus aku? Jika Tuhan memang ada, kenapa Dia tidak menolongku?" *** Miray Akina berada di titik terendah hidupnya. Terlalu banyak luka membuatnya...