06

2.5K 532 24
                                    

Panggilan gadis berhijab lebar itu menarik perhatian beberapa santri yang akan pergi ke sekolah diniah. Dari nama yang diucapkan Aqlan, Kina sudah tahu siapa orang-orang yang sedang melangkah cepat dan menghampiri mereka.

Engsel pintu pagar yang terbuat dari kayu itu berderit nyaring ketika seseorang membukanya. Gadis bernama Anna itu sudah memupuk cairan bening di balik pelupuk mata.

"Ustaz Malik!" Aqlan menghampiri pria paling tua di antara rombongan itu kemudian mencium tangannya. Ia beralih mencium tangan dua orang pria yang usianya terlihat sedikit lebih tua, lalu memberikan sapaan kepada empat orang wanita, termasuk Anna. Mereka adalah keluarga calon istri Aqlan.

"Jadi benar desas-desus kedekatanmu dengan wanita asing itu, Lan?" Tanpa basa-basi, Zidane, kakak pertama Anna, langsung menodongkan pertanyaan.

"Astaghfirullah, Mas. Itu nggak benar!" bantah Aqlan. Ia menatap Kina yang masih berdiri di tempatnya. "Dia Kina—"

"Pernikahan kalian akan berlangsung dalam hitungan hari, tapi kamu menyentuh wanita lain, Lan!" Yanuar, kakak kedua Anna, memotong perkataan Aqlan.

"Itu sama sekali tidak benar, Mas! Aku nggak berani menyentuh apa yang nggak halal untukku. Ini salah paham." Aqlan terlihat panik.

"Kami jelas-jelas melihatnya!" ujar Anna. Pipinya telah basah oleh air mata. Ia melirik ke arah Kina yang sudah berhenti menangis dan hanya memandangannya dengan tatapan kosong.

Aqlan menunjukkan tisu di tangannya pada Anna dan meyakinkannya. "Ini, Dek. Mas pakai ini. Kami nggak bersentuhan."

"Sudah banyak kabar yang masuk ke telinga kami tentang kedekatanmu dengan perempuan yang kamu tolong." Ustaz Malik menatap Kina sejenak dan kembali menatap calon menantunya. "Sebenarnya kami ingin bertanya mengenai kabar itu dengan abi dan ummimu, tapi kini semuanya sudah terjawab."

"Ustaz, saya berani bersumpah tidak pernah berbuat seperti yang dibicarakan orang, apalagi kejadian ini. Ini semua hanya salah paham." Aqlan menoleh ke belakang. "Kina, tolong jelaskan pada mereka apa yang sebenarnya terjadi di antara kita."

Kina bergeming. Ia diam sembari mencengkeram ujung bajunya. Ia merasa tidak nyaman karena banyak pasang mata di luar pagar yang menatap, seakan-akan sedang menuduh dan menghakiminya. Berbagai pemikiran buruk pun mulai menyusup ke benaknya.

"Kina!" ulang Aqlan.

"Kamu menyukai pria ini, Nak?" tanya Fatimah,  Ibu Anna, kepada Kina. Namun, Kina tetap bergeming dan tidak memberikan jawaban.

"Sepertinya kita harus bicarakan hal ini lain waktu."

"Zidane enggak setuju, Abi!" sergah Zidane. "Semua orang tahu ini salah. Anna tersakiti, Abi."

"Yanuar lebih senang jika Anna menikahi pria yang benar-benar bisa menjaga diri," sindir Yanuar yang setuju dengan ucapan kakaknya.

"Astaghfirullahal'adzim, Mas! Aku sama sekali nggak menyentuhnya. Aku hanya merasa kasihan kepadanya. Dia tersakiti oleh keluarganya." Aqlan berusaha memberi alasan.

"Itu hanya alasanmu, Lan," ujar Zidane dengan tatapan sinis. Ia memberi isyarat kepada keluarganya untuk angkat kaki dari sana.

"Ummi! Dek Anna! Tolong, dengarkan penjelasanku."

"Anna sakit, Mas," ujar wanita yang terisak dalam rangkulan ibunya itu.

"Dek, Mas hanya iba mendengar masa lalunya. Selama delapan tahun dia dijadikan tempat pelampiasan nafsu oleh ayah dan kakak tirinya. Dia dikurung dan dianggap gila oleh semua orang untuk menutupi kebejatan keluarganya. Dan dia baru—"

HALAQAH CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang