Di dalam Hati Saja

67 2 0
                                    

AKU TIDAK MENYUKAI MUSIK. Apalagi aku tidak punya waktu untuk duduk diam sekadar mendengar alunan nada yang katanya indah itu. Aku tidak seperti laki-laki lain seusiaku yang punya banyak waktu luang untuk mendengarkan musik, berdiskusi tentang penyanyi tenar kesukaan mereka, dan hal lainnya. Bagiku, waktu adalah uang.

Kuliah di tingkat akhir sangatlah tidak mudah. Aku butuh banyak biaya setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan perut dan juga studiku. Punya satu pekerjaan saja tidaklah cukup. Aku harus mencari pekerjaan sampingan lainnya. Untungnya tempat kerjaku mengizinkan aku untuk menggunakan datanya sebagai bahan penelitianku. Jadi, aku bisa mengerjakan skripsiku lebih cepat. Aku harus secepatnya tamat agar tidak tercekik lagi dengan kebutuhan studi dan bulanan.

Hari itu, beberapa bulan yang lalu aku bertemu dia. Bukan, aku melihat dia. Bersama beberapa temannya, dia melakukan aksi bermain musik di trotoar di dekat restoran di mana aku bekerja. Ada yang bermain gitar, keyboard, saksofon, dan biola. Dua orang di antara mereka bernyanyi dengan suara indah. Tetapi dia yang bermain biola yang menarik perhatianku.

Dia begitu hanyut dengan permainannya sendiri. Dia tersenyum, tertawa, marah, juga menangis sedih mengikuti gesekan biolanya. Sangat mencolok dibandingkan dengan kelima teman perempuannya yang lain. Yang tidak aku duga-duga, dia juga ikut menarik emosiku bersamanya. Aku ikut tersenyum bahagia, tertawa, juga menangis protes atas duka yang digambarkannya lewat lagu yang dimainkannya.

Aku menyukai ide mereka karena mereka bermain bukan untuk mencari uang jajan atau membeli barang untuk keperluan sendiri. Mereka bermain untuk menyumbangkan uangnya kepada keluarga miskin yang foto dan alamatnya tertera pada poster yang mereka pasang. Mungkin untuk meyakinkan para pejalan kaki bahwa mereka tidak berbohong dan serius dengan bentuk kepedulian sosial tersebut.

Aku tidak punya banyak uang pegangan. Tetapi menyaksikan permainannya yang luar biasa, aku menyisihkan sedikit dari uang makanku ke dalam kardus yang mereka sediakan. Semoga bisa menolong keluarga yang miskin tersebut. Aku tahu benar bagaimana rasanya tidak punya uang dan kadang-kadang tidak makan. Hidup ini memang sangat keras. Apalagi kalau kita tidak kuat dan gampang menyerah.

Tidak berani mendekat sekadar menanyakan nama, aku hanya melihat dari jauh saat mereka dibantu oleh beberapa teman pria mereka untuk merapikan tempat tersebut. Salah satu di antara pemuda itu berdiri begitu dekat dengannya. Mereka bahkan bicara sangat akrab. Entah mengapa aku merasa terganggu melihatnya. Ingin pergi dari tempat itu, aku tidak bisa. Setiap kali gadis muda itu tertawa, hatiku merasa bahagia. Dia memikatku lewat permainan musiknya juga lewat sikapnya yang manis. Mungkinkah di dunia nyata yang sangat keras ini masih ada bidadari dari khayangan?

Beberapa bulan selanjutnya, aku tidak melihat dia ikut bersama kelompok anak-anak muda tersebut. Aku menantikannya tetapi dia tidak datang lagi. Barulah sekitar sebulan yang lalu, aku melihat dia tampil lagi. Dia melakukan hal yang sama, bermain biola sepenuh hatinya. Dan aku masih melakukan hal yang sama, menatapnya dari jauh setelah memasukkan sejumlah uang ke dalam kardus. Sama sekali tidak berani menyapa atau sekadar memuji permainannya.

"Tara, hari ini kamu mengurus meja di bagian dalam. Biar Maya yang mengurus meja bagian luar." ucap manajer restoran membuyarkan lamunanku.

"Baik, Pak." ucapku patuh. Ada beberapa piring berisi makanan di hadapanku. Semuanya aku atur dengan rapi di atas baki, lalu aku antar ke meja pemesannya.

Bekerja di restoran mewah memiliki keuntungannya tersendiri, tetapi aku lebih memilih bekerja di restoran atau kafe kecil yang menghargai pelajar. Pemilik restoran di mana aku bekerja, memberiku bonus yang besar bila aku bisa bekerja setiap hari termasuk pada akhir pekan. Tamunya juga sangat murah hati. Mereka memberi tip yang kalau dijumlahkan dalam satu bulan bisa lebih besar dari gaji yang aku terima. Itulah alasan yang membuatku betah dan senang bekerja di restoran ini selama empat tahun.

Salam Sayang untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang