Jalan Keluarnya Ada di Depan Mata

38 2 5
                                    


PUSING SENDIRI MEMIKIRKAN bagaimana cara untuk berkenalan dengan gadis pemain biola itu, aku akhirnya maju dan melangkahkan kaki mendekatinya. Heran. Mengapa hanya aku yang datang untuk mendekati Angela, sedangkan penonton lain justru mengerubuti pemain musik yang lain? Permainan gadis itu tidak kalah hebatnya dengan permainan mereka yang dikerumuni penonton tersebut. Tidak mau gagal lagi, aku memacu diri sendiri untuk terus berjalan.

Leganya, aku berhasil mengalahkan ketakutanku sendiri dan mengajaknya berfoto bersama serta meminta tanda tangannya. Rencana yang semula hanya sesederhana itu malah berubah total. Keluarganya mengajakku untuk makan bersama mereka. Piza bukan jenis makanan favoritku. Tetapi sebagai orang yang isi kantongnya sangat terbatas, tawaran makan gratis sebisa mungkin tidak akan aku tolak.

Keluarganya sangat baik kepadaku. Entah mengapa mereka mudah saja percaya kepadaku. Kami makan malam bersama usai konser Natal di mana Ela tampil memukau, kemudian mereka mengantarku pulang. Lalu sekarang aku diundang datang ke acara ulang tahun Ela. Padahal aku baru mengenal mereka kurang dari satu bulan. Aku dan Ela juga secara khusus tidak sering bertemu. Karena usai ujian akhir semester, hanya aku yang tetap datang ke perpustakaan, dia tidak lagi.

Barulah dua minggu sejak kuliah di semester genap dimulai kami bertemu kembali. Dia hanya meminjam buku dan segera pergi dari perpustakaan, sedangkan aku tinggal lebih lama untuk membaca buku-buku yang aku pilih. Tidak ada lagi mata kuliah yang harus aku ikuti. Aku sudah bisa berkonsentrasi mengerjakan skripsiku. Dari kamar sewa aku bisa langsung datang ke perpustakaan tanpa harus mampir ke kampus lagi.

Namun meskipun kami jarang bertemu, pikiranku tidak ber-henti dipenuhi olehnya. Aneh sekali. Apakah semua orang atau laki-laki yang sedang jatuh cinta juga mengalami hal yang sama? Yang paling mengganggu adalah bila aku sudah cemburu setiap kali melihat dia dekat dengan laki-laki lain. Terutama pemuda yang selalu bersamanya itu, baik di kampus atau perpustakaan. Mereka berdua dekat sekali.

Melihat keadaan rumahnya, aku tidak percaya kalau dia berasal dari keluarga yang berada. Bila dilihat dari caranya berpakaian, tas miliknya, arloji, dan barang-barang pribadi yang bukan berasal dari merek terkenal, aku tidak menduga dia akan punya rumah sebesar itu. Iya, keluarganya punya dua buah mobil tetapi bukan berasal dari merek kenamaan. Hanya jenis mobil yang umum dipakai keluarga lainnya.

Diperhatikan dari cara berpakaian papa dan mamanya, aku segera tahu dari mana dia mendapatkan kesederhanaannya. Dari kedua orang tuanya. Mereka tidak miskin. Dan aku yakin Om Niko punya cukup uang untuk membelikan benda-benda bermerek untuk anak-anaknya. Hebatnya, mereka tidak terlalu pusing soal penampilan. Sangat jauh berbeda dengan gaya hidup orang-orang kaya lainnya yang pernah aku kenal.

Misteri pertama mengenai hubungan Baskara dengannya sudah terjawab. Mereka hanya teman biasa. Walaupun belum berteman dekat, aku sudah dua kali bertemu dan berbincang dengan kedua sahabat baik Ela, Baskara dan Wulan. Mereka sangat ramah dan suka bicara apa adanya. Pertemuan pertama mereka hingga bisa menjadi sahabat akrab pun sangat unik.

Tetapi aku menyebutnya keterlaluan. Aku benci setiap kali seseorang hanya diukur, dinilai, dan diperlakukan berdasarkan penampilan semata. Tidak semua gadis cantik itu bodoh dan murahan. Tidak semua pemuda ganteng itu pemain hati dan pedandan. Kampus seharusnya menjadi tempat di mana diskriminasi serupa itu dihapuskan. Sayangnya, masa orientasi justru dijadikan ajang bagi para senior untuk balas dendam atas perlakuan yang mereka dapat dari senior sebelumnya. Di mana seharusnya mereka berusaha untuk memutus tradisi bodoh dan tidak manusiawi itu.

"Kamu tidak membawa kado untukku?" tanya Ela dengan wajah kecewa saat menyambutku di depan pintu. Dia melihat ke arah kedua tanganku yang tidak memegang apa pun.

Salam Sayang untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang