Dimulai dari Persahabatan

41 2 0
                                    

TIDAK PEDULI dengan apa kata orang, aku jatuh cinta kepada ayahku sendiri. Silakan sebutkan nama laki-laki lainnya yang bisa disandingkan dengan papaku. Akan aku pastikan bahwa Papa yang menjadi pemenangnya. Aku juga tidak mau tahu bila nanti akan sendiri selamanya karena mencari sosok pria yang mirip Papa. Kalau tidak dapat juga, ya, berarti aku tidak perlu menikah. Sesederhana itu.

Kata Mama, Papa sayang sekali kepadaku. Saat aku masih kecil, kalau aku menangis, Papa juga ikut menangis. Waktu aku diimunisasi atau tindik telinga, Papa yang paling sedih. Padahal aku biasa saja menghadapi jarum suntik atau jarum tindik tersebut. Bila dilihat dari bentuk badannya, rasanya tidak percaya kalau Papa takut pada jarum.

Jadi, bagaimana mungkin aku tidak sayang kepadanya? Papaku tidak hanya ganteng, dia juga baik hati dan begitu sayang kepadaku. Untung saja Mama dan Tuhan mendukungku. Hanya aku putri Papa satu-satunya. Kak Ari, Kiel, Zad, dan Rino suka berebut mencari perhatian Mama, sedangkan aku tidak perlu berkelahi dengan siapa pun. Aku anak perempuan satu-satunya di dalam keluargaku.

Banyak orang yang bertanya, apakah aku tidak kesepian hanya punya saudara laki-laki dan tidak punya satu pun saudara perempuan? Jujur, tidak. Keempat saudara laki-lakiku sudah membuatku sangat sibuk. Sama sekali tidak ada waktu untuk merasa kesepian. Mereka suka mengganggu, sekaligus menjaga dan melindungiku. Siapa pun, tanpa terkecuali, harus menghadapi mereka kalau berani menyakitiku. Ditambah Papa, tentu saja. Jadi, ke mana pun aku pergi aku selalu merasa aman.

Tetapi tentu saja ada bagian tidak enaknya. Aku punya jam malam. Usiaku sudah delapan belas tahun. Sebentar lagi akan berusia sembilan belas dan masih punya jam malam! Aku protes keras, Papa tidak peduli. Aku mencoba melawan, Papa memberi hukuman tidak boleh keluar rumah kecuali ke kampus dan akan diantar juga dijemput dari kampus. Menyebalkan.

Kak Ari beruntung. Dia bisa pulang semalam apa pun sesuka hatinya. Papa dan Mama tidak pernah marah. Dia pulang atau tidak sekalipun, mereka tidak khawatir. Kalau aku berani begitu, bisa-bisa Papa melibatkan polisi untuk mencariku. Aku juga ingin mendapatkan hak yang sama. Tetapi mereka selalu menggunakan alasan yang itu-itu lagi. Kak Ari laki-laki, bisa menjaga diri sendiri, sedangkan aku perempuan, berbahaya kalau masih berada di luar rumah lewat dari jam sepuluh malam. Benar-benar tidak adil.

Kalau Papa sudah memutuskan sesuatu, aku tidak berani melibatkan Mama. Mereka berdua selalu seiya sekata. Siapa saja yang bicara lebih dahulu dan memberikan keputusan, yang lain akan menurut dan tidak mendebat keputusan tersebut. Tetapi biasanya Mama membiarkan Papa yang memutuskan segalanya. Mama hanya menurut saja.

Melihat bagaimana Papa dan Mama memperlakukan satu sama lain setiap kali bersama, aku juga memimpikan hal yang sama. Papa seolah-olah tidak bisa melepaskan tangan dan tatapannya dari Mama. Heran. Papa bisa tidak ada bosan-bosannya menatap Mama. Belum mandi pun, Papa tidak keberatan untuk mencium atau memeluk Mama bila sudah rindu seharian tidak bertemu. Bila sudah begitu, aku dan saudara-saudaraku dijadikan nomor sekian. Mama selalu menjadi yang pertama baginya. Apa mungkin ada laki-laki di luar sana yang akan mencintaiku seperti cara Papa mencintai Mama?

"Mengapa tidak mungkin? Anak mama cantik begini, masa tidak ada pemuda yang menaksir?" Mama membelai pipiku. Aku tersenyum mendengarnya.

"Tapi tidak ada yang seperti Papa. Atau minimal seperti Kak Ari yang menyebalkan tapi tahu bagaimana cara memperlakukan perempuan dengan baik." keluhku.

"Ehem, siapa dulu papanya." Papa menepuk-nepuk dadanya dengan bangga. Aku mendesah pelan.

"Sungguh sayang sekali, Papa sudah menikah sama Mama." Aku mempererat pelukanku.

"Suatu hari nanti kamu akan menemukan laki-laki yang tepat untukmu. Pelan-pelan saja, Ela. Kamu masih muda. Perjalanan hidupmu masih panjang." Papa membelai-belai rambutku dengan sayang.

Salam Sayang untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang