Lepas dari Pengaruh Keluarga

37 2 4
                                    

MESKIPUN AKU HIDUP penuh perhitungan setiap kali menggunakan uang, atau tidak punya banyak uang di dalam kantong untuk aku pakai sesuka hati, ada segan di dada setiap kali menerima kebaikan orang lain. Menumpang pulang dengan motor atau mobil rekan kerjaku, jujur, bukanlah hal yang aku sukai. Mendapat makanan gratis dari orang-orang di dekatku juga bukan hal yang menyenangkan. Namun keadaan memaksaku untuk menerimanya. Aku harus berhemat demi studiku.

Dan akhirnya, yang aku tunggu-tunggu pun tiba. Dosen pembimbing menyatakan skripsiku sudah selesai dan siap untuk dipertanggungjawabkan. Aku menjabat tangannya dan segera mengurus segala keperluan administrasi untuk mendaftarkan diri mengikuti sidang skripsi. Betapa leganya aku melihat uang simpanan yang jumlahnya bisa menutupi kebutuhan tersebut.

Ela bersorak girang ketika aku memberitahukan kabar gembira itu. Dia memaksa untuk mentraktirku makan. Tidak mau bertengkar dengannya, aku menurut. Bukan kantin kampus atau perpustakaan yang kami tuju untuk merayakannya. Dia memilih sebuah restoran yang bersih dan cukup ramai yang ada di pusat kota. Melihat daftar harga pada menu, aku membelalakkan mata. Sangat terjangkau.

"Kamu pasti terkejut melihat restoran sebagus ini, harga makanannya termasuk murah." tebak Ela sambil membuka buku menu di hadapannya. Aku mengangguk. "Mirip dengan restoran tempatmu bekerja 'kan?"

"Iya. Jarang menemukan restoran seperti ini." Kami memesan makanan dan minuman kepada seorang pelayan. Lalu aku kembali melihat-lihat ke sekeliling kami. "Ela,"

"Iya?" Dia yang semula sedang memerhatikan sekeliling kami, menoleh kepadaku.

"Apakah kamu pernah merasa malu bersamaku? Kamu tahu, aku hanya seorang pelayan restoran." ucapku merendah. Dia tersenyum begitu manis.

"Selama kamu tidak mencuri atau melakukan sesuatu yang merugikan orang lain, aku tidak malu." Dia menggelengkan kepalanya. Aku ikut tersenyum.

"Kamu gadis yang langka. Aku bahagia kamu mau menjadi pacarku." ucapku senang.

"Kamu juga laki-laki yang langka. Belum pernah aku bertemu laki-laki yang bisa membuatku suka kepadanya. Hanya kamu." Dia balas memuji.

"Aah... Apa itu artinya kamu akan meninggalkan aku begitu kamu menemukan laki-laki lain yang bisa membuatmu suka kepadanya?" godaku.

"Bisa jadi." Dia balas menggoda. Lalu kami tertawa bersama. "Jangan khawatir, Tara. Aku janji akan setia kepadamu."

"Aku juga." janjiku.

Kami sudah menjalin hubungan selama beberapa minggu dan segalanya berjalan dengan baik. Dia tidak banyak menuntut perhatian dariku. Agak mengejutkan karena sebenarnya dia adalah gadis yang manja. Hubunganku dengan kakaknya juga baik-baik saja. Kami sering belajar bersama di perpustakaan. Berlomba untuk menyelesaikan studi lebih cepat dari yang lain. Dan kadang-kadang Julia, teman dekat Ari, ikut belajar bersama kami setiap kali tidak ada jadwal mata kuliah apa pun.

Yang pertama diantar oleh pelayan ke meja kami adalah minuman. Aku tersenyum melihat desain gelas dan mug yang ada di depanku. Jus yang aku pesan rasanya segar dan rasa manisnya pas. Tidak terlalu manis seperti rasa jus pada umumnya. Ketika makanan pesanan kami datang, kami saling mengizinkan yang lain untuk mencicipi dua masakan yang berbeda itu. Aku menggumam memuji kelezatan makanan tersebut.

"Apakah kamu punya rencana membuka rumah makan suatu hari nanti?" tanya Ela.

"Tidak." jawabku cepat.

"Kamu kuliah di jurusan manajemen, apa kamu tidak tertarik untuk membuka usaha sendiri?" tanyanya lagi. Aku tersenyum mendengarnya.

"Aku tidak bisa langsung buka usaha, Ela. Butuh modal yang tidak sedikit. Pertama-tama, aku akan menjadi pegawai biasa dan mulai menabung untuk itu. Sembari melihat-lihat peluang usaha dan lokasinya." ucapku menjelaskan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Salam Sayang untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang