3

15 6 7
                                    

“Jadi, bisa kita simpulkan bahwa ada lima faktor pembentuk kebudayaan nasional. Kondisi geografis, wilayah kebudayaan, keterbukaan terhadap dunia luar, sejarah, dan agama. Minggu depan, setiap kelompok akan mempresentasikan mengenai analisa terhadap lima faktor tersebut.” ucap Bu Randa menutup pembelajaran.

Hari ini sudah memasuki minggu kedua pembelajaran. Aku semakin disibukkan dengan segudang rutinitas umumnya. Berangkat pagi, pulang malam. Begitu seterusnya. Bahkan hari ini akan ada kumpulan perdana organisasi yang aku ikuti. Rencananya, pengurus inti akan mulai membentuk kepanitiaan OLYMPIC 2020. Kebetulannya lagi, aku memang menjabat sebagai pengurus inti di sini.

Berpartisipasi di setiap kegiatan sekolah sama sekali tidak membuatku merasa terganggu. Aku semakin merasa beruntung karena masih diberikan kesempatan menjejaki dunia luar. Berinteraksi langsung dengan guru, bekerjasama dalam sebuah team hingga tergabung dalam asosiasi inti sekolah.

Alhamdulillah, orang tuaku sejauh ini belum menunjukkan rasa khawatir yang berlebih. Mereka selalu bilang selagi yang ku jalankan adalah kegiatan positif, mereka akan selalu mensupport. Yang terpenting, jangan pernah lupakan ibadah dan istirahat. Karena, semua tidak akan ada hasil ketika tubuh sudah tidak berfungsi.

“Se, istirahat kedua ke ruang sekret ya. Jangan lupa bawa buku agenda.” ucap Kavin, si ketua.

Dia memang selalu menjadi andalan semua orang, tak terkecuali aku sendiri. Memasuki kelas yang sama hampir lima tahun membuatku kenal sekali dengan pembawaan diri dan karakter seorang Kavin. Cerdas, jujur, bertanggung jawab, dan penuh integritas. Mungkin itu sudah sangat cukup untuk memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Dan juga, jangan salahkan aku kalau sempat menyukainya. Tidak ada yang bisa mencegah perasaan hadir selain keinginan yang kuat. Dan sepertinya aku gagal…

“OK. Jam satu di ruang sekret. Jangan melupakan buku agenda.” pungkasku yang menirukan cara bicara Kavin.

“Hmm, mulai. Ya sudah aku pamit ke ruang guru dulu ya. Jangan lupa pantau piket!” sahutnya lagi dengan sedikit berteriak. Tak sekali dua kali dia bertingkah konyol. Terlepas dari menyadarinya atau tidak, dia suka sekali membuat orang bergidik.

“Hati hati, nanti baper lagi.” Nayla menyenggol lenganku.

“Apaan sih Nay, udah hilang kok.”

“Alah bohong! Aku tau kamu. Emang susah ya kalau suka sama temen sendiri, ketemu terus.” sahut Nayla lagi masih dengan aksi ceng-cengannya. Aku memasang muka se-fake mungkin biar enggak terlalu kelihatan aja gitu.

“Ihs kamu nih. Kamu sendiri gimana? Masih sama kakak itu?”

Nayla jadi gelagapan sendiri. Tau kan, wajah orang kalau kalau lagi simpan rahasia tapi kebongkar? Mungkin seperti itu wajahnya sekarang. Nayla emang yang paling diam di circle kami. Jangankan mau sekadar curhat, muncul di grup chat saja jarang.

☼☼☼☼

Disinilah aku berada seraya mendengarkan sambutan dari kepala sekolah. Setelah bergulat dengan pikiranku sendiri, aku memutuskan untuk mengikuti KSN-K kembali. Walaupun tersimpan 99% rasa tidak yakin, tapi aku lebih memilih 1% untuk optimis. Masih banyaknya dukungan menjadi salah satu alasanku untuk maju berkompetisi lagi.

Memasuki tahun kedua di SMA, sudah sepatutnya aku mulai gencar mengejar masa depanku. Banyak harapan yang ku pertaruhkan di kesempatan terakhir ini. Setelahnya, hanya akan ada dua kemungkinan. Lanjut atau berhenti? Dan itu semua ada di tanganku sendiri.

“Pak apa ada jaminan untuk nilai akademik kami di kelas? Sebagian guru pasti tidak bisa terima kalau pembelajarannya selalu ditunda. Kami khawatir untuk itu. Walau bagaimanapun juga, olimpiade tahun ini menjadi kesempatan terakhir untuk memberikan yang terbaik pada sekolah.” ucap Alza, salah satu anak kebumian. Aku mengenal Alza dari Runa.

Terdengar riuh tepuk tangan mengejutkan gendang telingaku. Yang paling kuat berasal dari arah belakang, wilayah dewan guru. Sebagian dari mereka mengacungkan jempol nya tinggi tinggi. Tidak lain untuk merespons ucapan si anak emas itu.

Sedikit demi sedikit rasa penasaranku mulai terjawab. Tentang bagaimana XI MIPA 1 menjadi bibit unggul dan selalu menjadi kebanggaan tersendiri bagi guru yang mengajar. Selain cerdas, mereka juga sangat mengedepankan pola pikir yang kritis.

“Terimakasih, pertanyaan yang bagus. Anak anakku sekalian, yang terpenting sekarang kalian harus berjuang untuk kompetisi ini. Bawa nama baik sekolah dimanapun kalian berada. Sabet semua medali, wujudin seluruh mimpi. Bapak sendiri yang akan mengusahakan dan menjamin prestasi kalian di dalam kelas tidak akan menurun.” Jawab kepala sekolah dengan penuh keyakinan.

Pernyaatan yang dilontarkan kepala sekolah barusan benar benar menambah tingkat keyakinanku. Tidak dapat dipungkiri, perkataan Alza benar adanya. Mereka yang di atas rata rata saja sangat khawatir, apalagi aku? Ditambah lagi dengan sifat beberapa guru yang otoriter. Penjelasan segamblang mungkin tetap tidak akan berpengaruh sedikitpun.

Usai rapat koordinasi Olimpiade, bisa ditentukan bahwa seleksi akan dilaksanakan seminggu mendatang. Seluruh calon peserta dikerahkan untuk memberikan kemampuan terbaiknya. Mungkin di tahap ini murid murid ambis akan langsung meningkatkan tingkat keambisannya sampai 200%. Karena, untuk sekadar lolos seleksi saja tidak mudah. Soal yang diberikan tidak bisa dianggap remeh.

“Se, temenku Rara ingin ikutan olim Geo.” Ucap Runa di tengah tengah pembicaraan. Ya, sekarang aku dan Runa sedang berada di masjid sekolah, tepatnya kami baru saja selesai ibadah Zuhur.

“Ooo, ya sudah. Ikut aja.” balasku singkat dan sedikit tidak memedulikan pernyataan Runa. Jujur, aku sangat takut. Aku juga mengenal Rara. Dia teman sekelasku di bimbel.

“Tapi kayaknya dia kesulitan juga harus belajar mulai dari mana. Kami juga lintas minat nya Ekonomi bukan Geografi. Kamu ada saran gak?”

“Aku juga cuma belajar dari internet kok.” timpalku singkat.

Runa menghentikan pembicaraan dan izin kembali ke kelasnya. Dia mungkin mengerti, aku merasa tidak nyaman dengan perbincangan singkat ini. Runa memang lebih peka dengan keadaan. Tidak seperti aku yang sangat mudah tersulut mood swing.

Pengalaman buruk tahun lalu menciptakan phobia tersendiri bagiku. Terutama dalam persaingan. Terkadang orang menjadi sangat egois untuk memenuhi keinginannya. Saat itu, aku berada dalam team Geografi yang rata rata anggotanya adalah kakak tingkat. Tidak seperti kebanyakan team pada umumnya, semua mencari keberhasilannya sendiri. Hanya rasa dan aksi antisipatif yang mereka tunjukkan. Kalau begitu, kenapa harus ada team? Bukankah bisa berdiri sendiri? Kalau mereka bisa se-egois itu, kenapa aku tidak? Setidaknya itu yang ada dalam pergolakan batinku sekarang.

“Se!” suara seseorang memecah lamunanku.

“Apa?” balasku sambil menunjukkan tatapan intimidasi lalu mengalihkan pandangan secepat mungkin.

Atmosfer di sini semakin terasa panas. Ingin rasanya aku melarikan diri dari tempat ini. Aku bisa sedikit menebak maksud kedatangan perempuan ini. Ya, dia Axel teman sekelasku. Biarpun sekelas, kami jarang berinteraksi.

“Aku mau join olim Geo, gimana ya daftar nya?”
See? Tepat sasaran.

Aku sudah membayangkan keadaan ini dari jauh jauh hari. Axel memang dikenal dengan wawasan globalnya yang sangat luas. Dimana, itu menjadi salah satu kelemahanku. Dia dengan mudah membaca peta dunia. Sekali tunjuk pada suatu negara, dia akan menjawabnya dengan benar. Tidak berhenti di situ saja. Ini berlanjut pada memorizing skill nya dalam menguasai seluk beluk kota, bendera, dan budaya di banyak negara.

“Kenapa tidak kebumian saja? Kamu kan dulu anak kebumian.” Tanyaku sedikit penasaran.

“Aku lemah menghitung. Rumus rumus yang ada di kebumian sangat sulit.”

Pernyataan macam apa ini?! Emang dia pikir Geografi tidak sulit? Aku sering mendengar omongan anak anak olimpiade dari bidang lain sedang membicarakan Geografi. Entah ada yang bilang Geografi yang paling mudah dibandingkan bidang lain, Geografi menjadi pilihan terakhir orang yang sudah gagal sebelumnya, sampai Geografi yang paling sedikit peminatnya. Ku pikir, mungkin kebanyakan orang gagal karena hal ini. Sering meremehkan. Padahal, tidak ada yang mudah kalau tidak berusaha. Sama seperti kejadianku tahun lalu.

“Aku tidak tau. Tanya aja langsung sama pembina nya. Sudah ya, aku mau ngerjain tugas dulu.”

Aku meninggalkan Axel sendiri di teras kelas. Terserah kalau dia berpikir yang enggak enggak. Aku tidak mau ambil pusing. Semakin memikirkan ucapan orang, semakin sempit kebebasan yang kita dapat. Karena gak semua kemajuan berasal dari orang lain.




To be continued.
Hi readers! Hari ini aku update 2 part sekaligus. Tidak lain tidak bukan karena lagi semangat-semangatnya. Dan semogaa rasa semangatku hari ini bisa kalian rasakan juga yaa...

When Oceana heals ocean (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang