4

11 5 2
                                    

Kurang dari 15 menit lagi, pembelajaran hari ini akan selesai. Aku kembali ke kelas. Kelasku memang sedang tidak ada guru. Jadi, tadi ku putuskan untuk menghampiri Runa.

Aku memasukkan beberapa buku ke dalam tas. Tunggu…

“Riel, kamu lihat kliping-ku gak?” tanyaku pada Ariel dengan gusar.

Aku terus mencari kliping dengan cover biru tua itu. Seingatku tadi aku taruh di atas meja. Namun, aku baru sadar mejaku sudah kosong.

“Kliping yang mana?” tanya Ariel dengan lembut

“Yang sering aku bawa, warna biru tua, ada nama Fahri Hannolean.” jawabku penuh gambaran.

“Aku gak lihat, tapi tadi kami emang ngobrol disini.”

“Siapa aja?” tanyaku kembali.

“Mira, Michelle, Ara, Ax…,” Belum sempat Ariel menyelesaikan ucapannya,

“ITUKAN KLIPINGKU!” tukasku keras pada seseorang yang baru saja datang.

Aku memandang marah saat melihat Axel masuk ke kelas dengan menjinjing klipingku. Bagaimana bisa ada pada Axel? Dia bahkan tidak meminta izin terlebih dahulu. Aku sungguh membenci tindakan orang tanpa sopan santun.

Axel menatapku dengan wajah sedikit bingung dan takut. Selain selebor, aku juga sangat dikenal dengan orang yang paling sensitive di kelas. Aku tidak bisa mentolerir orang yang bersikap buruk padaku, sekecil apapun itu.

Mendadak kelas menjadi hening. Semula teman temanku yang sedang beraktivitas pun menjadi berhenti. Seisi kelas tau, kalau aku sudah berkata lantang berarti aku benar benar marah.

“Aku tadi buru buru ke perpus makanya minta tolong sama Mira untuk beritahu kamu. Soalnya tadi kamu lagi enggak di kelas.” sahut Axel memberi penjelasan.

“Tetap saja, harusnya kamu hubungi aku bukan Mira! Itu aku yang pinjam ke kak Fahri, kalau hilang bagaimana?! Kamu mau tanggung jawab?!!” sanggahku tak terima. Aku masih memendam kesal dengan Axel sejak beberapa hari yang lalu. Hanya karena dia menyatakan niatnya untuk gabung dalam team Olimpiade Geografi. Padahal, aku sadar belum tentu juga aku lolos seleksi dan kembali mengikuti Olimpiade tahun ini.

Aku memakai tas dan meraih kliping itu dari genggaman Axel dengan lumayan kasar. Ini juga kali pertama aku meninggalkan kelas lebih awal. Hawa di sini sudah sangat membuatku muak.

Setibanya di rumah..
“Kenapa? Kok kelihatannya kesal banget.” sapa mama hangat seraya memberikan sepiring cookies coklat kesukaanku.

"Terimakasih ma, aku bawa ke kamar ya cookies nya." Balasku singkat.

Aku tidak menjawab pertanyaan mama dan segera masuk ke dalam kamarku. Hanya di ruang persegi sederhana ini aku merasa lebih tenang. Suara tangisku mulai terdengar. Aku meluapkan semua kekesalanku hari ini dengan menangis.

☼☼☼☼

“Aku les aja, mah.” ucapku singkat. Aku memutuskan untuk melupakan kejadian tadi siang dan kembali fokus pada jadwal kegiatan selanjutnya.

Mama menatapku bingung. Pasalnya, tadi aku sudah minta izin untuk tidak les. Tidak mau membuat badmood-ku bertambah, akhirnya mama lebih memilih untuk mengantarku ke tempat bimbel.

“Lain kali kalau ada masalah, cerita. Jangan dipendem sendiri. Ya sudah, hati hati nak. Belajar yang bener.” Mama mencium keningku. Emang cuma mama yang paling tau kalau aku sedang tidak baik baik saja.

Berulang kali aku mencoba untuk menyimak pelajaran yang dijelaskan Sir, namun tetap tidak bisa. Tatapan kosong. Pikiran terpencar entah kemana. Aku menyesal lebih memutuskan untuk pergi les dari pada istirahat. Akhirnya, ku tundukkan wajahku di lengan kursi. Aku tertidur.

“Oceana,”

Tunggu…
Seseorang memanggil namaku dari kejauhan. Suaranya tidak jelas, seperti berlawanan dengan hamparan angin. Ku amati keadaan sekitar, namun tidak ada siapapun. Aku terus berjalan menghampiri sumber suara itu. Lama berjalan, tibalah aku di sini. Tempat yang sudah tidak asing. Lautan.

“Oceana,” sambutnya lagi.

Suara itu semakin terdengar jelas di telingaku. Sepertinya kali ini lebih dekat. Aku terus mengamati sosok yang kini berjalan ke arahku. Lelaki yang tak pernah lepas dari seragam biru laut nya.

“Papa ngapain?”

Aku memandang bingung pada sosok pria gagah di depanku ini. Dia papa. Aku segera memeluk kencang. Sudah cukup lama aku tidak bertemu dengannya. Papa seorang TNI angkatan laut. Perkerjaan itu yang membuat intensitas pertemuan kami sangat kecil. Kebanyakan hari-nya, beliau habiskan dengan berlayar.

“Papa kangen sama Sean.”

Sean. Papa adalah orang pertama yang memanggilku dengan nama itu. Saat ku tanya alasannya, papa hanya menjawab, “Papa hanya berharap suatu saat kamu bisa berdamai dengan laut.” Alasan itu yang selalu papa katakan sejak pertama kali aku bertanya, “Mengapa harus Sean?”

“Papa kapan pulang? Sudah tiga bulan kita tidak bersama. Aku, kakak, mama, semua kangen papa.” ucapku halus.

Berdua dengan papa, membuatku menjadi anak yang penurut. Ehm, maksudku, aku merasa lebih tidak emosional seperti biasanya.

“Sebentar lagi. Papa janji kita akan bertemu secepatnya. Papa harus menyelesaikan pekerjaan papa dulu. Sean jaga diri baik baik. Harus jadi anak yang sabar, penurut. Papa tau Sean anak yang cerdas. Kamu pasti bisa bertahan dengan situasi sulit ini.”

Papa memelukku erat. Nyaman rasanya. Tidak. Ini sangat lebih nyaman dari pelukan papa biasanya. Aku menengadahkan wajahku ke atas. Mata papa sedikit merah, tapi sama sekali tidak mengurangi paras nya yang rupawan. Ku akui papa memang terlihat awet muda, kulit wajahnya pun tidak terlihat mengendur.

“Sudah ya, papa tidak punya banyak waktu. Papa harus kembali bekerja.”

Aku langsung menghalangi langkah papa. Aku masih sangat rindu. Kenapa papa harus secepat ini balik nya? Bukankah setiap pekerjaan pasti menyisakan separuh waktu? Kenapa papa tidak?

“Sebentar lagi. Papa jangan pergi dulu. Aku masih mau peluk papa.” ucapku dengan tatapan memohon.

Papa kembali membalasku dengan pelukan hangat. Tangannya menyapu helai rambut yang sedikit menutupi mata. Lalu mencium keningku.

“Ingat ya pesan papa, jaga diri baik baik.” ucap papa memeringatiku sekali lagi.

Tak berselang lama kemudian, aku hanya dapati hamparan laut yang luas. Papa kemana? Bekerja, kah?

“Sean, wake up! Wash your face!” suara lain mengejutkanku. Tidak. Ini bukan suara papa.

I commemorate you once more. Sean, wake up!

Aku terlonjak sesaat setelah suara bariton itu terdengar lebih keras. Masih bisa ku rasakan sapuan kasar dari tangan seseorang di sampingku. Ku mulai memfokuskan pandanganku. Kelas? Bukannya tadi aku di laut bersama papa? Banyak pertanyaan yang tiba tiba terbersit di kepalaku.

Is it well? You fell asleep.” Terdengar lagi suara lain seolah menyapaku. Kali ini perempuan. Aku menolehkan wajah ke samping. Sarah?

Oh, My Goodness! I just dreamed. Namun, kenapa mimpi kali ini terasa berbeda?

"Papa, are u okay?" Ucapku dalam hati seolah bertanya penasaran.




To be continued.
Hai hai aku kembali😁 Maaf aku update hari ini sedikit, karena masih disibukkan dengan persiapan perkuliahan. Semoga kalian tidak lupa dan bosan dengan cerita ini yaaa..

When Oceana heals ocean (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang