T w o

48 4 0
                                    

Two: Ternyata Hanya Mimpi

Mitha POV

"Mith kenapa? Kok nggak makan?" Tanya Mama. Aku hanya diam. Sekali berkedip spageti ini berubah jadi usus duabelas jari. Aku ngeri dan juga jijik. Aku memberikan spageti ke Mama.

"Maaf Ma, aku lagi tidak ingin makan, nanti aku makan sendiri," aku langsung ngacir ke kamar. Ingin rasanya aku curhat pada seseorang tentang masalahku. Tapi percuma saja. Semuanya menganggapku berhalusinasi.

Masih ada sebulan lagi sebelum sekolah. Lama sekali. Jadi aku harus melawan semua ini?

Aku berkedip dan tiba tiba ada seorang anak kecil di sebelah meja belajarku -dia memakai dress yang sudah ternoda darah, matanya tertusuk pisau dan tepat di paru parunya ada pisau yang menancap- telah berhasil membuatku ngeri. Aku langsung cepat cepat berkedip namun anak kecil itu telah berada di kakiku. Aku merasa ngeri. Aku berkedip sekali lagi dan tiba tiba ada suara tangisan. Air membasahi kakiku. Jangan jangan anak ini yang menangis?

"Kamu... kenapa menangis?"

"Kakak tidak tahu?"

Dia memukul mukul lututku. Dia sepertinya stres. Dia menjambak jambak rambutnya. Sepertinya ini bukan hantu.

"Kakak mau kan menjagaku?"

Aku berkedip. Hilang sudah anak itu. Aku bergidik ngeri. Dia ingin aku menjaganya? Pikirku.

Byar! Aku melihat lagi bayi itu. Bedanya sekarang dia menusuk nusuk lututku. Entah kenapa aku tak merasa sakit tapi aku justru menangis. Sekali lagi aku berkedip dan banyak sekali bayi mengerubungiku. Aku langsung mengusir semua itu tapi tidak bisa dan tiba tiba saja aku jatuh. Salah satu bayi itu bersiap siap menusuk mataku dan sebagiannya lagi sudah menusuk nusuk hidungku. Kali ini aku kesakitan.

Aku berkedip dan aku merasa benar benar kesakitan. Aku menggeliat di lantai dan aku langsung saja terpejam.

Mungkin hidupku berakhir disini...

...

"Hei, bangun! Mitha, kau kenapa?!"

Aku membuka mata. Ternyata tadi hanya mimpi! Aku langsung bangun dan pergi ke dapur melewati Mama yang kuatir padaku.

Tapi, aku lagi lagi melihat usus duabelas jari. Aku tidak bisa makan spageti! Terpaksa, aku menyantap usus duabelas jari tersebut karena kelaparan.

Aku berkedip. Berubah jadi spageti. Aku pun memakannya dengan lahap tapi baru aku menoleh ke spageti itu, aku melihat rambut pirang anak kecil tadi! Aku langsung muntah dan aku pergi ke kamar. Tanpa membersihkan muntahku.

"BOO!"

"Kyaaa!"

Aku kaget baru saat membuka pintu si anak kecil kembali lagi. Ia kembali merengek rengek di kakiku.

"Kak jaga aku di alam sana..."

Aku bergidik. Aku berkedip berkali kali tapi anak kecil itu masih saja ada di kakiku. Lalu aku melihat arwah arwah penasaran mendekatiku. Ada suara aneh di kamar. Lampu kamar hidup mati. Aku benar benar ngeri sampai akhirnya aku mengambil pisau lipat yang biasanya digunakan untuk keterampilan dan menusuk nusuk mereka. Mereka tidak hilang hilang, malah semakin menjadi jadi saja.

Aku hanya bisa duduk dengan takut, berkedip berkali kali namun mereka jadi semakin banyak saja. Dan makin aku berkedip tubuh mereka makin mengerikan. Ada yang tidak punya mata, kaki terpotong, kepala lunak, bahkan ada yang memegang otak sendiri. Aku hanya bisa berdoa kepada tuhan. Aku berusaha berkedip berkali kali. Mereka semakin banyak saja. Bahkan mereka menyuruhku makan otak yang ada di tangan mereka!

Sungguh aku muak jadi indigo.

Aku berusaha menusuk nusuk mereka (lagi) namun mereka justru membawa pisau lipat pula! Sampai aku mengalihkan perhatian pada kakiku.

Anak kecil itu masih saja memeluk kaikiku.

Jangan jangan dia bukan hantu?

Aku mengalihkan perhatian ke jendela. Tapi mereka terus saja menyuruhku menoleh ke arah mereka. Demi usus duabelas jari, atau otak. Tapi sesaat sebelum aku menoleh ke arah arwah itu, ada seorang wanita dengan bayi.

Di gedung tua.

Aku membelai anak kecil di kakiku. Dia mulai berhenti menangis dan akhirnya tersenyum.

"Percayalah semua akan baik baik saja."

Sekarang aku justru lebih menganggapnya manusia dibanding hantu. Dan sepertinya kami berharap agar arwah arwah itu hilang.

A/N

Hai.

A Terrible NightWhere stories live. Discover now