Umbra : Tutup Buku

42 8 0
                                    

Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya ia sampai di depan sebuah rumah mungil di tengah perkampungan pinggir kota. Beberapa pasang mata ibu-ibu yang sedang berkumpul di teras sebuah warung menyorot padanya dengan bisik-bisik. Inikah lingkungan wanita yang ia cintai tinggal sekarang?

Delapan tahun. Butuh delapan tahun untuknya akhirnya menemukan Kirana, Rana-nya. Sejak hari itu, Rana seperti hilang di telan bumi. Tak satupun orang tahu di mana keberadaannya. Mikhael pun tak bisa mencarinya. Ia kehilangan jejak sedangkan ia tak mungkin membayar siapapun untuk membantunya. Ia tak bisa menjamin kesetiaan mereka padanya untuk menjaga rahasia tentang Rana. Ia tak mau kecolongan lagi. Mikhael sangat mengenal ibunya dan tahu apa yang sanggup wanita itu lakukan.

Setelah menghadapi berbagai ancaman ibunya dan berkali-kali percobaan bunuh diri istrinya, Mikhael bebas. Ia berhasil menemukan Rana di hari ke lima setelah pemakaman ibunya. Walaupun harus membuatnya kehilangan salah satu restoran milik keluarganya untuk menutup harga yang ia keluarkan.

Mikhael menatap rumah bercat kuning pastel tersebut. Gerbangnya terdiri dari dua pintu, yang sekarang salah satunya terbuka. Pintu rumah dan jendelanya juga terbuka. Sedikit bukan tipikal Rana yang lumayan pemalu.

Well, delapan tahun bukan waktu yang sebentar, Rana bisa berubah kapan saja.

Mikhael meyakinkan dirinya untuk melangkah masuk. Ia berdiri di depan pintu sejenak, jantungnya berdebar. Butuh beberapa detik untuk akhirnya ia memberanikan diri mengetuk pintu itu dan mengucapkan salam.

Hitungan ke sembilan yang Mikhael ucap dalam hatinya, sesosok wanita keluar dari sana. Wanita yang kini berdiri mematung dengan mata membulat dan bibir yang terbuka lebar ketika melihat kehadirannya.

"Rana." Mikhael mengucap nama itu dengan nyaris berbisik.

Tak terhitung betapa rindunya ia dengan wanita itu. Wanita cantik dalam balutan daster bunga berwarna merah dengan rambut tersanggul asal di puncak kepalanya. Anak rambut berantakan di sisi wajahnya yang berkeringat. Wajahnya masih sama tanpa perubahan selain kini ia terlihat lebih dewasa dan sederhana. Tubuhnya tampak lebih berisi dari terakhir kali Mikhael melihatnya.

Satu yang terlintas di benak Mikhael, Rana masih sesempurna yang ia rindukan.

"Mikhael.." Hanya itu yang terdengar, itupun pelan dengan getar yang berusaha ia tahan.

Keduanya terdiam untuk waktu yang cukup lama, menikmati keterkejutan masing-masing.

Rana tersadar dari lamunannya beberapa saat kemudian, "Maaf. Aku terkejut melihatmu di sini. Mari masuk." Katanya sopan.

Ada bagian yang terasa sesak di dada Mikhael ketika mendengar Rana memperlakukannya seperti orang lain. Tapi ia cukup sadar diri untuk tidak berpikir bahwa Rana akan menyambutnya dengan ciuman mesra setelah satu windu terlewat.

Rana mempersilahkan Mikhael duduk di sofa ruang tamunya. Membiarkan matanya meneliti seluruh ruangan ini. Ruangan ini sangat sederhana. Tak ada hiasan atau gambar apapun yang bisa Mikhael jadikan petunjuk untuk mengetahui hidup Rana sekarang. Hanya ada seperangkat sofa yang cukup usang dengan sebuah buffet tua yang berisi beberapa piala.

Milik siapa piala itu? Gumam Mikhael was-was dalam hatinya.

"Bagaimana kabarmu?" Tanya Mikhael.

Rana tersenyum kecil dan menjawab dengan santai, "Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?"

"Aku baik."

Mereka nyaris seperti remaja yang sedang pertama kali bertemu lawan jenisnya. Kaku dan canggung. Rasa rindu Mikhael menghapus seluruh pertanyaan yang sudah ia siapkan untuk Rana dan kepergiannya yang tiba-tiba ketika ia melihat gadis itu secara langsung. Sedangkan Rana tak memiliki apapun untuk dikatakan di saat ia bahkan masih terkejut dengan kehadiran Mikhael.

Rasa Dalam KataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang