Judul : Resensi Luka
Karya : Azzahra Kencana
-(sebuah cerpen)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
."Lo udah tahu apa yang ingin Lo tuliskan?" Sebuah suara bertanya pada Annalise setelah cukup lama ia tenggelam dalam lamunannya ketika menatap selembar kertas putih yang menempel di papan ujiannya. Annalise menoleh meski ia masih dalam mode trans kesadarannya.
Di sebelah Annalise, pria yang tadi bersuara menatapnya dengan alis terangkat. Lalu perlahan bibirnya membentuk seutas senyum tipis. "Gue saranin sih cepat ya. Kelas udah hampir bubar." Ujarnya pelan. Kemudian ia melangkah meninggalkan Annalise.
Tatapan Annalise mengikuti pergerakan pria itu. Baru ia menyadari ruang teater kecil ini semakin menyepi. Sebagian orang yang tadi mengisi deretan bangku ini sudah mulai turun menyusuri tangga untuk mengumpulkan kertas tugas resensi mereka. Sedangkan Annalise masih setia dengan keadaan trans nya. Pikirannya kosong sama sekali. Sebelum kemudian ia sadar, belum ada goresan tinta lain di kertasnya selain nama dan jurusannya.
Annalise sedang berada dalam kelas kuliah umum. Mereka ditugaskan untuk menulis resensi tentang drama yang baru saja mereka tonton. Sebelum mereka memasuki materi pembahasan singkat yang nantinya langsung menuju ke penutupan. Tetapi bahkan sampai sekarang, Annalise masih belum tahu apa yang harus dituliskannya. Pikirannya seolah berkabut. Pertunjukkan yang tadi disiarkan untuk mereka berputar dibenaknya tanpa Annalise mampu mengeluarkan sepatah kata untuk dituangkan pada kertasnya. Seolah tubuhnya menolak memberi respon terhadap apa yang baru saja dicerna oleh hatinya. Annalise tidak mampu.
Ia menatap lembar kertasnya. Lalu bergeser kearah podium. Dimana dosennya kini berdiri sambil menghitung lembaran yang ada ditangannya. Annalise tahu cepat atau lambat, keabsenannya disadari oleh pria itu.
"Kurang tiga lembar. Ada dua mahasiswa yang absen kelas saya hari ini. Satu lembar lagi siapa?" Suara berwibawa itu terdengar dengan lantang. Disusul oleh dengungan para mahasiswa yang mempertanyakan siapa orang yang dimaksud.
"Annalise?" Suara pria paruh baya itu terdengar lagi. Membuat seluruh mahasiswa itu menolehkan kepalanya ke satu arah. Pada Annalise yang kini sedang duduk dengan tatapan kosong tanpa ekspresi pada tengah panggung diselimuti tatapan heran dan bingung para mahasiswa yang lain yang jelas mengenal dirinya.
"Annalise belum?"
"Kok bisa Annalise belum?"
"Masa dia belum?"
Pertanyaan itu samar silih berganti memasuki indera pendengaran Annalise. Tetapi ia masih diam sebagaimana si bisu ditengah gurun memohon pertolongan. Tidak ada yang bisa melihat kegundahan yang ia rasakan kecuali sang profesor. Mata elang ditengah Sahara.
"Ada pertanyaan, Ann?" Pertanyaan itu terlontar. Menarik atensi Annalise dari sorot panggung kosong hingga berpindah pada pria itu. Meski belum menghidupkan sepasang kekosongan sorot Annalise.
Annalise tahu itu bukan lagi sebuah pertanyaan sebenarnya. Lebih pada tuntutan pengakuan atas keganjilan yang tengah berlangsung dalam dirinya yang tampaknya disadari cukup banyak orang. Annalise tak lagi bisa bersembunyi dalam diamnya. Meski kelu terasa di setiap sisi lisannya.
"Saya... bingung, Prof." Keraguan, hanya itu yang keluar dari bibir Annalise. Ia tahu meninggalkan tanya dibenak banyak orang. Seorang Annalise tanpa sinarnya adalah hal baru untuk mereka. Bahkan pria paruh baya dengan gelar dosennya itu menatapnya dengan alis terangkat.
"Mengapa cinta menjadi salah satu alasan Rahwana untuk dibenci?" Annalise bertanya pelan.
Hening cukup lama didalam teater itu. Tak satupun dari mereka bersuara. Semua atensi berpusat pada sang dosen dan Annalise, sang pemilik tanda tanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Rasa Dalam Kata
PoetryKumpulan rasa yang dituangkan dalam bentuk kata dari benak anak manusia. Seperti perasaan manusia, tak ada konteksnya. Ia hanya hadir disaat rasa itu terlalu penuh mengisi. Bisa dalam bentuk senyum bahagia. Bisa dalam tangis karena luka. Terdenga...