Kumpulan rasa yang dituangkan dalam bentuk kata dari benak anak manusia.
Seperti perasaan manusia, tak ada konteksnya. Ia hanya hadir disaat rasa itu terlalu penuh mengisi.
Bisa dalam bentuk senyum bahagia.
Bisa dalam tangis karena luka.
Terdenga...
Judul : Saka Penulis :Azzahra Kencana (-sebuah cerpen) . . . .
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . . .
Annalise kembali menginjakkan kakinya disini. Setelah sekian lama, akhirnya ia kembali datang ke tempat ini. Gerbang yang menyambutnya masih sama seperti saat terakhir kali Anna -bagaiamana Annalise disapa, lihat. Suasana malam yang hening, namun terasa hangat pun kembali mengingatkannya pada saat ia kemari. Sudah lebih dari satu tahun yang lalu. Tetapi, entah mengapa masih terasa lekat untuk Annalise.
Untuk sejenak, Annalise terdiam di langkah pertamanya memasuki gerbang hitam itu. Ia menarik napas pelan sebelum memutuskan melanjutkan langkahnya. Menikmati masa sesaat yang entah mengapa terasa begitu...berbeda.
Langkah kaki membawa Annalise masuk. Menelusuri jalanan yang sudah cukup Annalise kenali dari beberapa kali kunjungannya kemari. Meski cukup berbelit, Annalise masih jelas mengingat jalan mana yang akan membawanya ke tempat tujuan. Dan mana jalan yang akan membawanya pada kilas balik kenangan.
Annalise tersenyum. Masih belum ada yang berubah. Rasa nyaman itu masih di sana. Menerimanya, bahkan meski Annalise tahu ia takkan bisa memilikinya.
Tak heran, tempat ini telah memberi coretan impian pada dinding hatinya. Memberikan warna dan cerita bagi sebuah tempat yang ia bangun didalamnya. Coretan yang kini baginya hanya sekedar memoar luka.
Tapi bukan nostalgia tujuan Annalise. Ia datang untuk sahabatnya. Ia datang untuk mengapresiasi kerja kerasnya. Bukan saatnya untuk memanjakan kenangan.
Annalise menoleh kesekelilingnya. Masih belum menemukan sahabatnya. Pesan yang ia kirim melalui ponselnya pun belum terkirim pada gadis itu. Setengah merutuk dalam hati, Annalise mengingat bahwa tempat ini tidak pernah bertendensi baik dengan jaringan internetnya. Mau tak mau, Annalise harus berdiam di satu tempat sampai sahabatnya menemukannya. Annalise tidak akan mengambil resiko untuk berkeliling.
Harusnyatadiguebikin meeting point, keluh Annalise dalam hati.
Ia berhenti di depan gedung pertunjukkan kampus seni itu. Berdiri di bawah lampu dengan ekspresi kesal di wajahnya yang tak dapat ditutupi. Ia menyesali kecerobohannya yang lupa mengabari sahabatnya sebelum ia sampai tadi. Sahabat yang kini ia berusaha cari di tengah keramaian manusia yang sebagian besar atensinya mengarah padanya. Sosok asing yang terlihat mencolok diantara mereka dengan kesendiriannya. Tampaknya mereka menyadari bahwa Annalise bukan bagian dari mereka.