Kumpulan rasa yang dituangkan dalam bentuk kata dari benak anak manusia.
Seperti perasaan manusia, tak ada konteksnya. Ia hanya hadir disaat rasa itu terlalu penuh mengisi.
Bisa dalam bentuk senyum bahagia.
Bisa dalam tangis karena luka.
Terdenga...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . .
PRANG!!!!
Tanpa bisa dicegah gelas yang awalnya berasa dalam genggaman itu mendarat mulus diatas lantai dalam sekali lemparan. Tak lagi mampu menampung cairan mahal berusia hitungan tahun itu. Cipratan merahnya menyebar ke sekitar area jatuhnya. Bercampur dengan serpihan kaca yang juga disana. Tetapi ia tak peduli. Fokusnya adalah menatap layar televisi yang menampilkan berita terkini.
Ia menyesal telah menolak tawaran pria itu. Menyesali kebodohannya yang baru menyadari bahwa ia tak bisa hidup tanpa pria itu. Dan ia telah mengulur waktu pria yang telah memberikannya kebahagiaan diantara hidupnya yang suram. Pria yang telah membawanya pada cahaya terang yang sebelumnya tak pernah ia tahu dapat ia capai.
Sahabat sahabatnya mengutuknya karena kebodohannya. Mereka jelas tahu betapa tergila-gilanya seorang Mahadewa pada dirinya. Laki-laki yang sudah ia cintai sejak bangku sekolah menengah atas. Dan kini menjalin hubungan spesial dengannya. Bahkan kalimat pedas Annalise yang biasanya tak ubahnya angin lalu, kini terdengar sadis untuknya.
"Gue nyesel pernah kasih jalan untuk Dewa ngedeketin lo kalau gua tau lo seegois ini. Lo belajar dari mana sih jadi munafik?"
Kalimat itu benar-benar menusuk dalam padanya. Meski itu tak sepenuhnya benar, perkataan Annalise tak bisa disalahkan. Ada keegoisan dan kemunafikannya dalam membuat keputusan yang sangat bodoh. Dan sekarang untuk menyesal pun ia merasa tak pantas.
Ingatannya kembali pada malam pertengkaran hebat mereka. Dewa yang biasanya begitu sabar dan santai menghadapinya, mungkin telah menemui titik lelahnya. Ia tak lagi menuruti segala keinginannya yang membuat gila. Keinginan yang mereka berdua tahu tak diinginkan bahkan oleh keduanya.
"Dewa dengerin aku dulu." Mia berusaha berbicara pada Dewa yang tengah menatap layar televisi dengan wajah datarnya. Ia duduk bersila menghadap pria itu.
Keduanya tengah bersantai pada sofa apartement Mia. Dan Mia yakin bahwa ini saat yang tepat untuk mengajak Dewa membicarakan kembali topik yang enggan dibahas oleh Dewa pada saat makan malam tadi. Meski ia tahu jelas Dewa berusaha mengabaikannya karena topik yang cukup sensitif untuk keduanya.
Sedangkan Dewa telah paham dengan jelas apa yang ada dipikiran kekasihnya itu. Maka tak heran sebenarnya untuk Dewa malas kembali terlibat pada percakapan tanpa ujung seperti ini.
"Kapan aku pernah nggak dengerin kamu, Mi?" Dewa bertanya pelan seraya menoleh sesaat pada Mia. Sebelum menatap kembali pada layar televisi.
"Ya tapi kamu fokus ke aku dong, Dew. Tolong dengerin aku." Ujar Mia lagi. Menggerakan lengan Dewa untuk menarik atensinya. Tetapi Dewa tak bergeming. Tanpa menoleh sama sekali, ia bersuara dengan nada malas.