50

1K 141 0
                                        

Edgar mengajak Alana ke pantai Takapuna. Sebuah pantai yang terletak di Auckland. Suasana tidak begitu ramai karena ini bukan akhir pekan. Alana dan Edgar sedang duduk di bawah pohon kelapa. Edgar mengulurkan minuman kaleng  dingin yang dibelinya dari minimarket terdekat. Alana menerimanya dan langsung membukanya, ia meminumnya seteguk. Matanya terbelalak melihat kaleng yang dipegang Edgar.

"Gar, lo minum bir?"

"Alkoholnya ringan kok." Edgar menjawab santai sambil menunjukkan kalengnya pada Alana.

"Wah, gila lo! Tetap aja itu minuman beralkohol. Haram tau hukumnya." Alana mendorong kaleng tersebut.

Edgar menimang kaleng yang dibawanya, ragu untuk meneruskan minum atau tidak. Mau dibuang sayang, mana tinggal separuh.

"Buang, Gar! Dosa."

"Gue 'kan udah dewasa, Lan. Udah bukan anak SMA lagi. Jadi nggak papa kalau gue sekali-kali minum. Toh nggak bakal mabok juga."

"Lo sering kayak gitu?"

Alana memandang curiga ke arah Edgar. Melihat background Edgar yang broken home dan sering kesepian tak heran jika dirinya melarikan diri kepada minuman beralkohol semacam itu. Alana merasa ngeri karena selama ini dirinya ternyata berteman dengan seorang dewa mabok.

"Baru sekali ini aja, tadi salah ngambil."

"Buang gue bilang!" Alana berteriak sambil melotot.

"Kan sayang."

"Lo minum aja punya gue." Alana mengulurkan minuman miliknya. Edgar menerimanya dengan ragu, lalu membauinya.

"Nggak papa, bekas jigong cewek cantik."

"Cantik dari Hongkong?" Edgar mengembalikan kaleng milik Alana. Lalu ia beranjak pergi ke tempat sampah.

"Udah gue buang, puas?" Edgar kembali duduk di samping Alana.

"Gar, kira-kira gue bisa ketemu sama mas Adrian nggak, ya?" Alana bertanya dengan pesimis, ia merasa dipersulit untuk menemui Adrian, ia merasa ini adalah sebuah pertanda yang tak baik.

"Bisa, pasti bisa."

"Kok lo bisa yakin banget?"

"Akan gue usahain, lo tenang aja. Percaya sama gue." Edgar berusaha meyakinkan Alana.

"Tapi gue bingung, gue mau ngomong apa kalau udah ketemu dia?" 

Alana bertanya sambil menggaruk pelipisnya, membuat Edgar memutar bola mata malas. Seharusnya sebelum jauh-jauh berangkat kesini sudah menyiapkan pertanyaan, gerutu Edgar dalam hati.

"Ya lo tanya, kenapa dia nge-ghosting lo?" Edgar mencibir malas.

"Kalau ternyata gue yang punya salah sama dia, gimana?"

"Emang lo ngerasa punya salah sama dia?"

"Kayaknya nggak deh, orang malamnya kita masih baik-baik aja."

"Ya udah."

"Gar, ada satu lagi yang gue takutin."

Edgar menghela nafas berat, sambil melirik ke arah Alana. Mau move on saja ribet sekali, keluh Edgar.

"Udah, jangan banyak mikir. Selama masih ada gue, nggak ada sesuatu yang perlu lo takutin di dunia ini." Edgar berusaha menghibur Alana.

"Kecuali Tuhan dan orang tua," ralat Alana.

"Iya-iya."

"Gar ...."

Apalagi? Edgar melirik malas.

"Udah, tenang. Mending kita nikmati dulu suasana di sini. Yang bakal terjadi, biarlah terjadi. Kita jalani aja semua."

"Tapi, Gar. Gue takut nggak bisa move on dari mas Adrian sehabis ketemu sama dia." Alana berkata sambil menarik-narik lengan baju Edgar.

"Itu sih tergantung tekad lo aja."

"Gue takut nggak bisa nemu cowok sebaik dia."

"Banyak cowok yang lebih baik selain dia, Lan. Lo aja yang belum ketemu."

"Kalau misalnya nggak ada?"

"Masih ada gue, gue yang bakal nikahin lo, puas?" Edgar berkata asal, lagipula Alana tak menganggapnya serius. Edgar sudah berkata puluhan kali akan menikahinya, entah serius atau tidak.

"Ta-tapi ...."

"Kalau nggak mau sama gue, masih ada Juki, Cahyo serah lo pilih yang mana, atau gue cariin di  biro jodoh?" Edgar kesal karena kegiatannya menikmati pemandangan sekitar direcoki oleh rengekan Alana.

"Ogah, kayak gue nggak laku aja."

Teman Tapi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang