Tekan bintang dulu yok sebelum baca😉 Ditunggu juga komennya.
Cyra POV
"Ra, coba ibu tanya sama kamu. Lelaki dipilih karena apanya?" Tanya ibu balik saat aku bertanya pendapat beliau tentang Gus Alfan.
"Sama seperti perempuan, karena empat hal. Ketampanannya, kedudukannya, hartanya dan agamanya." Sahutku sambil berfikir.
"Lalu yang harus dipilih karena apanya?"
"Karena agamanya." Ini ibu kenapa sih? Ibu tersenyum mendengar jawabanku.
"Menurutmu jika ada seorang laki-laki sudah dididik oleh orangtuanya dengan baik secara agama bahkan sebelum dia lahir. Dan dibesarkan dilingkungan baik dengan penuh kasih sayang. Serta sudah belajar agama sejak kecil. Adab dan akhlaknya pun baik. Apa dia sudah bisa mendapat predikat lelaki yang baik agamanya?" Tanya ibu lagi membuatku berfikir keras.
"Ehm, secara dhohir mungkin sudah. Meskipun baik tidaknya seseorang hanya Allah yang tau." Sahutku cari aman.
" Nah selain itu dia juga tergolong begitu tampan. Kata anak zaman sekarang sih, 'ngak malu-maluin lah diajak kondangan.' Bahkan mungkin malah jadi pusat perhatian kalau diajak kondangan. Intinya dia itu good looking lah. Bahkan banyak sekali yang mengidolakannya. Bahkan mungkin kamu juga termasuk kalau melihatnya." Ibu mengatakannya sambil tertawa.
"Iih, apaan sih Bu. Cyra kan gak terlalu memandang fisik. Itu sih bonus bagi Cyra."
"Hehe, iya-iya. Ibu tau kok anak ibu maunya yang seperti apa. Oh ya satu lagi, nasabnya juga baik. Dia berasal dari keluarga pejuang agama Islam. Jadi bagaimana? Kalau ada laki-laki yang seperti ibu ceritakan tadi. Apa kamu akan menerima pinangannya?" Ibu serius mode on pada kalimat tanyanya.
"Ya diterima lah Bu. Bukannya kita harus menerima jika ada seorang laki-laki yang baik agamanya? Bahkan akan jadi kerusakan jika kita menolaknya. Apalagi kalau dia memiliki empat kriteria itu. Entah apa yang terjadi di dunia ini." Kataku dramatis.
"Tapi masalahnya Bu? Memang ada laki-laki seperti itu sekarang ini?" Aku tak yakin masih ada laki-laki seperti yang diceritakan ibu sekarang. Kalau ada berarti ya populasinya sedikit dan hampir punah.
"Ada Ndok, ada. Bahkan dia ada di hadapanmu tapi kamunya saja yang tidak sadar. Apa pura-pura tidak sadar?"
"Ada? Di hadapanku? Maksud ibu siapa?" Jujur aku masih gagal faham.
"Gus Alfan lah. Siapa lagi. Bukannya kamu tadi tanya pada ibu tentang Alfan? Nah itu pendapat ibu tentang dia." Ya Allah, ternyata.
"Ibu, dia tidak sebaik itu Bu. Dia itu..." Kataku menggantung. Jujur saja aku tidak enak menceritakan semua yang aku tahu pada ibu tentang Alfan. FYI, aku sudah tahu tentang Alfan. Waktu itu aku tak sengaja mendengar percakapannya dengan kekasihnya itu di parkiran.
"Dia kenapa Cyra? Ibu tau dia tak sebaik itu. Ibu tau, dia melamarmu sekarang karena hukuman dari abahnya. Tapi semua orang pasti pernah melakukan kesalahan bukan? Begitupun dengan dia." Kata ibu yang membuatku terkejut.
"Ibu tau darimana?" Tanyaku penasaran.
"Abinya yang menceritakan. Beliau berharap dengan ia menikahkan putranya denganmu akan membuat putranya itu tak akan terjerumus kembali dengan hubungan yang dilarang Allah." Jelas ibu.
"Tapi Bu, kami terlalu muda untuk menikah. Dan lagipula bagaimana kalau dia masih tertaut dengan masa lalunya? Bagaimana dengan aku Bu? Aku nggak mungkin menikah dengan seseorang yang belum selesai dengan masa lalunya." Tak terasa air mataku merembas begitu saja.
"Nak, kamu ingat jawaban Gus Alfan saat Abah mempersalahkan umur kalian? Kalian diberi tanggung jawab berarti kalian sudah siap. Karena Allah yang tahu kadar kesiapan seseorang. Kamu menikah dengannya di umur sekarang berarti Allah tau kalian sudah siap untuk menjalankannya. Begitu Nak. Bahkan dia sudah bisa berfikir sedewasa itu diumurnya yang masih muda. Dia berbuat kesalahan tapi mau mempertanggungjawabkan apa yang sudah dilakukannya. Itu kenapa dia menuruti permintaan abinya dengan menikahi. Karena dia sudah selesai dengan masa lalunya. Itu sudah menjadi kesepakatan Alfan dengan abinya. Dia akan menikah dengan perempuan pilihan orangtuanya jika perempuan itu tak mau dinikahi. Jadi kamu tenang saja ya?" Ibu membawaku ke dalam pelukannya.
"Tapi Bu, tak ada cinta diantara kami. Jangan kan cinta, kenal pun baru saja." Ibu malah tersenyum mendengar penuturan ku. Beliau mengusap kepalaku sayang.
"Tresno jalaran soko kulino. Cinta karena terbiasa. Terbiasa karena dipaksa. Tumbuhkan cinta itu Ndok. Saat menikah, mencintai suamimu adalah kewajiban. Cinta itu pasti akan tumbuh dengan sendirinya atas izin Allah. Asalkan kalian berdua saling membuka hati, saling percaya dan menjaga komunikasi." Lanjut ibu.
"Tapi tak semudah itu Bu." Aku saling tatap dengan ibu.
"Memang tak mudah Nak apalagi kalau kamu belum mencobanya." Kata ibu sambil tersenyum.
"Sepertinya ibu memang ingin sekali aku menikah dengan dia." Kataku sambil cemberut dan memalingkan muka. Ibu malah bertambah lebar senyumnya.
"Nak, landasan terbesar dalam pernikahan bukan hanya cinta tapi iman. Iman yang membuat pernikahan bertahan meski tak ada cinta, meski di dalamnya ada kecewa. Karena apa? Karena seseorang yang mempunyai iman, maka percaya semua yang terjadi itu kehendak Allah yang harus diterima dengan lapang dada. Meski terkadang takdir dari-Nya tak selalu membuat bahagia." Ibu menatapku, memberi jeda. Lalu beliau meletakkan tangannya di pundak ku sebelah kanan.
"Kamu tidak harus menerima Alfan kok. Kamu bebas memilih jalan hidupmu, masa depanmu. Lagi pula, jika dia memang bukan jodohmu meski semua orang setuju kamu tidak akan pernah berjodoh dengannya. Tapi juga sebaliknya, meski kamu tak setuju tapi Allah sudah takdir kan. Sekeras apapun kamu menolak kamu pasti akan bersamanya." Kata ibu yang tak mampu ku jawab. Hanya air mata yang mampu menjawabnya. Ibu merengkuhku ke dalam pelukannya
"Sudah, berhenti nangisnya. Sekarang tidur terus nanti bangun, sholat malam dan jangan lupa sholat istikharah. Agar diberi petunjuk oleh Allah. Dia yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk kamu bukan ibu ataupun kamu sendiri. In syaa Allah, ibu dan Abah akan terima apapun keputusanmu." Nasihat ibu sambil menghapus air mataku. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Nyatanya air mataku malah semakin deras. Bagaimana tidak, meski ibu bilang begitu tapi aku tau apa yang beliau dan semua orang harapkan. Apa aku harus egois?
"Sudah, jangan terlalu difikirkan. Ibu pergi dulu takut dicari abah. Kamu tidur ya, sudah malam. Assalamualaikum." Ibu mencium keningku sebelum pergi.
"Baik Bu. Wa'alaikumsalam."
****
"Bagaimana Ndok, apa kamu mau menerima pinangannya?" Tanya Abah padaku di depan semua orang. Aku diam, keringat dingin mulai bermunculan. Ibu yang berada di sampingku, menggenggam tanganku seolah memberi kekuatan. Aku menghela nafas. Semoga ini keputusan yang tepat."In syaa Allah Bah." Jawabku akhirnya.
"Alhamdulillah." Seru semua orang yang hadir. Aku memejamkan mataku sejenak, berdoa semoga ini adalah keputusan terbaik. Karena ini adalah jawaban yang aku dapat setelah berpikir dan istikharah selama tiga hari. Saat aku membuka mata. Mataku langsung bersitatap dengan mata elangnya. Bukan bermaksud ke PD-an tapi sepertinya dia sudah menatapku sejak tadi. Entahlah, aku segera memalingkan wajah ke arah ibu dan aku langsung mendapatkan peluk hangat beliau. Beliau bahagia, semua orang bahagia. Aku bahagia melihat binar bahagia mereka. Tapi entah dengan dirinya. Aku tak berani menatap matanya. Aku tak tau ada binar atau kabut di dalamnya. Tapi aku hanya bisa menerka, bagaimana bisa bahagia jika pinangan yang diterima bukan pinangan untuk seseorang yang dicintainya? Aku tak bermaksud egois tapi nyatanya apapun yang ku pilih akan nampak egois. Menolak, berarti aku mengecewakan dua keluarga. Sedangkan menerima, aku seakan memisahkan dua orang yang saling mencinta. Tapi, bukankah perempuan itu sudah menolaknya? Sedangkan ia, memang sudah menerima konsekuensi dari kesalahan yang dilakukannya. Lalu, aku? Apa aku salah? Sedangkan aku hanya lah seorang perempuan yang diberikan pilihan namun sudah diberi kunci jawaban yang tak lain adalah 'iya' secara tersirat.
Cincin permata pun kita tersemat di jari manis ku. Sebagai pertanda bahwa aku sudah dikhitbah oleh Gus Alfan. Ibu Nyai Salma yang memasang nya di jari manisku. Lalu mereka pun merencanakan hari pernikahan kami, aku dan Alfan. Yang tanpa ku duga, pernikahan itu akan dilaksanakan saat liburan kenaikan kelas. Dan itu artinya, satu bulan lagi aku akan berganti status menjadi seorang istri. Status yang tidak pernah aku kira akan aku dapatkan saat aku masih berusia 17 tahun.
****
Ana urid anta turid Wallahu yaf'alu ma yurid
Dan itu adalah yang terbaik
Salam
Ri
KAMU SEDANG MEMBACA
Seutuh Purnama Gus
Spiritual"Alfan, kamu ingat peraturan di pesantren ini untuk santri yang ketahuan berpacaran?" Tanya laki-laki berpeci putih itu dengan tenang namun begitu mengintimidasi lawan bicaranya. "Iya Bi, santri itu akan dinikahkan." Jawab remaja berseragam putih ab...