Part 2

1.3K 97 7
                                    

Ini ketiga kalinya Mas Aldi mengulangi kesalahan. Dua kali kami juga pernah bertengkar hebat dan terjadi perang dingin. Pertama di tiga bulan usia pernikahan kami, yang kedua saat kehamilanku menginjak usia tujuh minggu. Bahkan, saat itu aku sempat drop.

Mas Aldi diam-diam sering mengirimkan pesan di messenger pada sang mantan. Wanita itu memang tidak merespon. Bahkan, malah memblokir akun Mas Aldi. Akan tetapi, suamiku itu selalu membuat akun baru dan mengirimkannya pesan juga status tentang ungkapan perasaannya.

Ketika kelakuannya itu terbongkar, ia meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi. Mas Aldi juga menghapus semua akun beserta aplikasinya. Aku percaya begitu saja dan memberinya kesempatan. Kenyataannya, kali ini ia mengulangi perbuatan itu lagi. Bahkan, Mas Aldi sengaja membuka aplikasinya melalui browser dengan akun baru yang ternyata sudah dibuatnya dari sebulan yang lalu.

Mungkin, ia berpikir aku tidak akan mengetahuinya lagi. Akan tetapi, yang namanya bangkai pasti lama-lama akan tetap tercium juga, bukan? Seminggu yang lalu, saat Mas Aldi tertidur dan lupa mematikan ponsel, tanpa sengaja aku melihat akun facebooknya di browser dengan nama dan foto samaran. Dari situlah semuanya terbongkar.

Aku sengaja memilih diam. Kukirimkan permintaan pertemanan dengan akun baru juga. Setiap hari kupantau semua status galaunya dengan harapan ia akan berhenti dan sadar, tapi ternyata tidak.

Terkadang, aku bingung kenapa sifatnya malah melebihi perempuan? Aku saja jarang mengunggah status-status galau seperti itu, tapi Mas Aldi? Entahlah. Mungkin jiwanya memang melow.

"Kenapa diam? Ini apa, Mas?" tanyaku lagi dingin.

"Itu ... itu apa maksudnya? Mas nggak ngerti." Ia tertawa hambar. Tawa yang terlihat jelas sangat dipaksakan.

"Berhenti berpura-pura, Mas! Tolong jujur."

"Jujur apa? Memangnya Mas pernah bohong apa?" Ia masih mencoba berkelit.

"Ini akun Mas, 'kan? Akun kloningan yang sengaja Mas buat sebulan yang lalu."

"Nggak!" tukasnya cepat. "Bukan, Dek. Itu bukan akun Mas. Foto sama namanya aja aneh begitu. Masa iya itu foto Mas." Lagi-lagi ia tertawa. "Akun sama aplikasinya, kan, udah Mas hapus. Kamu jangan nuduh Mas begitu, dong, Dek," bantahnya dengan kening berkerut dalam.

"Oh ...." Aku melirik ponselnya di atas meja. "Pinjam hape Mas."

"Buat apa?" Mas Aldi dengan cepat mengambil ponsel miliknya dari meja.

"Kenapa? Selama ini aku juga bebas pinjam hape Mas, 'kan? Kenapa sekarang nggak boleh?"

"Bukan nggak boleh. Buat apa dulu? Kan, kamu juga lagi pegang hape sendiri." Ia berkata dengan lembut lagi.

"Apa Mas pikir aku ini bod*h? Sini pinjam!" Aku menengadahkan tangan dengan tatapan dingin.

"Apa, sih, Dek? Nggak ada apa-apa di hape, Mas. Kamu, kok, curigaan begitu?" Mas Aldi masih bersikeras, tapi raut wajah dan gestur tubuhnya tak bisa menutupi ia tengah menyembunyikan sesuatu.

"Berikan ponsel Mas kalau mau melihatku dan calon anak kita ini selamat."

"Dek!" sentaknya. "Ngomongnya, kok, sembarangan banget, sih?" tegurnya dengan mata melotot tajam.

"Ya udah pinjam!" Tanpa sadar suaraku meninggi, hampir berteriak dengan tatapan tak kalah tajam.

Mas Aldi menelan ludah, terdiam mematung melihatku menatapnya dengan napas memburu.

"Ya udah, iya. Tapi jangan teriak begitu. Jangan marah-marah juga! Nggak baik buat calon bayi kita," komentarnya lembut.

Tanpa menanggapi ucapannya, langsung kurebut ponsel yang disodorkannya dengan kasar. Aku masuk ke riwayat akun facebooknya di browser dan ternyata sudah dilogout.

"Masukin passwordnya," perintahku.

"Mas lupa, Dek," kilahnya.

"Masukin atau aku pergi dari sini sekarang juga!" gertakku lagi.

"Iya, iya. Kamu itu sukanya main ngancam begitu. Mas nggak suka!" gerutunya sambil mengambil kembali ponsel dari tanganku.

"Mas pikir aku suka dengan sikap Mas itu?" balasku dingin, tapi ia tak menanggapinya.

Usai berhasil login, langsung kurebut lagi ponsel itu dan membuka inbox. Benar. Meski sebagian sudah dihapus, tapi masih ada beberapa pesan yang begitu puitis untuk mantannya itu.

Tanpa terasa, air mataku menetes begitu saja ketika mengambil foto dari pesan-pesan yang dikirimkannya.

"Dek ...."

Kutepis tangannya kasar saat hendak merangkul lagi.

"Maafin Mas, Dek. Iya, Mas ngaku Mas salah. Maaf, ya. Jangan nangis lagi!"

"Jangan sentuh!" desisku seraya menepis tangannya lagi yang hendak menyeka air mata.

"Mas khilaf, Dek. Maaf. Mas janji nggak akan begitu lagi. Sumpah!"

"Jangang gampang mengumbar sumpah, Mas!" Aku mendelik tajam. "Sumpah ke berapa yang Mas ucapin ini, hm? Mas nggak takut apa? Mudah banget ngomong sumpah tapi dilanggar terus!"

"Iya, maaf. Mas janji nggak akan begitu lagi. Serius."

"Jangan peluk-peluk!" Lagi-lagi aku menepis tangannya dengan kasar, lalu pindah ke sofa single.

"Dek ...." Mas Aldi menyusul, berlutut seraya menggenggam kedua tangan ini.

Aku berusaha melepaskan, tapi genggamannya malah semakin erat.

"Jangan nangis, Dek! Maaf," lirihnya.

Aku yang berusaha terlihat tegar, nyatanya tetap meneteskan air mata. Rasa sakitnya semakin berlipat-lipat setelah membaca pesan-pesannya tadi. Satu kali pun, belum pernah ia memberikan puisi romantis atau kata-kata indah seperti itu selama dua tahun kami menikah.

"Mau Mas sekarang apa? Terus terang, aku udah capek! Keberadaanku nggak pernah dianggap di sini. Mas pikir aku ini patung tanpa perasaan?"

"Maaf, Dek. Ini terakhir kalinya Mas berbuat begitu. Beneran, deh! Mas janji! Jangan marah, ya. Mas mohon ...."

Kutarik paksa satu tanganku, lalu menghapus kasar air mata dengan punggung tangan.

"Aku capek, Mas. Mas nggak pernah ngehargain perasaan aku. Sakit, Mas!" geramku seraya memukuli dada dengan kepalan tangan. "Coba Mas yang ada di posisi aku, apa yang akan Mas lakukan? Apa Mas nggak akan marah?"

Mas Aldi bungkam.

"Pulangkan saja aku, Mas." Aku menatap sinis Mas Aldi yang menunduk.

Mas Aldi kembali menatapku dengan alis tebalnya yang saling bertautan. Terlihat ingin marah, tapi pada akhirnya hanya menghela napas berat dengan tatapannya yang beralih sendu lagi.

"Pulang gimana maksud kamu, Dek? Kamu kangen Ibu sama Bapak? Biar Mas yang minta mereka ke sini, ya?" ujarnya dengan lembut. Ada getar di suaranya. Sedikit.

"Jangan pura-pura nggak ngerti, Mas! Mas sudah tahu maksudku apa. Pulangkan aku sekarang juga!"

"Nggak boleh gitu, Dek. Kamu itu cuma lagi emosi. Mas ...."

"Buat apa aku di sini, Mas? Buat apa?" Aku menyela perkataannya. Pelan, tapi penuh penekanan. "Keberadaanku di sini nggak pernah Mas anggap! Statusku sebagai istri nggak pernah Mas hargai! Mas nggak menginginkanku di sini! Mas nggak ikhlas aku jadi istri Mas!"

"Maksudmu apa, sih, Dek? Mas ikhlas! Mas sadar sepenuhnya waktu melamar kamu jadi istri Mas!" Mas Aldi mulai terpancing amarah. Ucapannya begitu penuh penekanan. Seolah tengah berusaha meredam emosinya sendiri.

"Apa kata-kataku kurang jelas? Aku mau pulang, Mas! Aku mau kembali ke rumah orangtuaku! Aku nggak bisa hidup dan tinggal bersama laki-laki yang masih terikat dengan cinta masa lalu! Aku nggak mau!"

🌺🌺🌺

STATUS GALAU SUAMIKU Di FACEBOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang