Part 8

1.1K 98 0
                                    

"Jangan dekati anak saya!" Bapak menahan tubuh Mas Aldi yang hendak mendekat padaku dengan tangannya.

"Pak ...." Mas Aldi berlutut di hadapan Bapak seraya memegangi satu tangannya. "Aku minta maaf. Aku mengaku salah dan menyesal. Beri aku kesempatan memperbaiki semuanya. Aku janji nggak akan menyakiti Nurma lagi," mohonnya dengan tatapan memelas. Ada air mata menetes di pipinya.

Entah itu air mata buaya atau sungguhan. Aku tidak peduli.

"Memaafkanmu itu mudah. Tapi keputusan akhir, Bapak serahkan pada Nurma. Apa pun keputusan Nurma, Bapak dan Ibu akan mendukungnya asal dia tenang dan bahagia," tegas Bapak.

Mas Aldi beralih menatapku. Ia bergeser mendekat karena Bapak tak lagi menahannya.

"Dek ... maafin Mas. Tolong jangan minta cerai. Beri Mas satu kali lagi kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Mas Aldi memaksa menggenggam kedua tanganku.

"Nggak bisa! Aku udah telanjur sakit hati, Mas. Apa jadinya kalau suatu hari aku ketemu dengan mantan Mas itu? Mau ditaruh di mana mukaku, Mas? Harga diriku sudah Mas injak-injak," lirihku dengan air mata yang menetes deras di pipi.

"Dek ... Mas mohon ...," lirihnya mengiba.

Aku menggeleng. "Keputusanku tetap sama. Aku mau kita berpisah, titik!"

Mas Aldi masih menatapku, tapi genggamannya mulai mengendur, lalu terlepas. Duduk lemas di atas karpet.

"Nurma ...." Mama menghampiriku sambil menangis. "Tolong pikirkan kembali, Nur. Mama mohon .... Aldi memang salah dan sudah keterlaluan, tapi tolong ... beri dia kesempatan untuk menebus kesalahannya itu," lirih Mama dengan linangan air matanya. "Mama nggak mau kehilangan kamu dan calon cucu Mama."

"Maaf, Ma. Nur nggak bisa." Aku memilih menunduk. Tak tega menatap wajah Mama yang begitu mengiba. Sementara, Papa mertua sendiri sedari tadi terus menunduk seraya menopang kepalanya dengan kedua tangan.

"Bu ... tolong bujuk Nurma. Semuanya masih bisa diperbaiki. Biar kami yang memberikan pelajaran pada Aldi nanti. Tolong ... pikirkan lagi keputusan ini." Mama memohon pada Ibu yang juga terisak.

"Maaf, Bu. Bukan saya nggak mau bantu. Tapi saya juga ingin putri saya bahagia. Jadi, apa pun keputusannya, akan saya dukung," jawab Ibu.

"Harusnya kamu itu pikirkan semua konsekuensinya sebelum bertingkah," timpal Bapak. Masih ada nada kekesalan, meski suaranya tak lagi sangar seperti tadi.

"Pak ... tolong jangan gegabah mengambil keputusan. Ini menyangkut masa depan cucu kita juga." Papa mertua mulai kembali ikut bicara. "Kasihan cucu kita kalau orangtuanya bercerai. Beri saja Aldi dan Nurma jeda waktu untuk saling instrospeksi diri."

"Maksudnya?" tanya Bapak.

"Pisah ranjang. Aldi dan Nurma untuk sementara pisah ranjang. Kalau Nurma mau menenangkan diri di kampung bersama Ibu dan Bapak dulu, nggak masalah. Kita beri mereka waktu untuk berpikir lebih tenang. Biar Aldi meraba-raba perasaannya sendiri. Biar dia bisa berpikir apa arti keberadaan Nurma di hatinya selama ini. Biar Nurma juga berpikir sekali lagi tentang keputusannya. Syukur-syukur rumah tangga ini masih bisa diselamatkan," saran Papa mertua dengan tenang.

"Saya nggak bisa memaksakan itu. Keputusan sepenuhnya ada di tangan Nurma," sahut Bapak.

"Nurma ...." Kali ini Papa mertua mengalihkan tatapannya padaku. "Tolong dengarkan permintaan Papa. Sebulan. Hanya sebulan saja, Nur. Beri jeda waktu sebulan. Kalau setelah itu kamu masih tetap ingin bercerai, kami nggak akan maksa lagi."

"Papa!" Mas Aldi tak terima.

"Diam kamu!" sentak Papa dengan mata melotot tajam hingga Mas Aldi kembali menunduk.

STATUS GALAU SUAMIKU Di FACEBOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang