Part 3

1.2K 92 5
                                    

"Apa kata-kataku kurang jelas? Aku mau pulang, Mas! Aku mau kembali ke rumah orangtuaku! Aku nggak bisa hidup dan tinggal bersama laki-laki yang masih terikat dengan cinta masa lalu! Aku nggak mau!"

Mas Aldi terdiam. Tatapannya masih tak beranjak dariku, tapi genggamannya mulai mengendur.

"Aku juga sudah berusaha, Dek. Aku sudah berusaha. Tapi nggak semudah itu melupakan cintaku sama dia. Susah!" lirihnya dengan kening berkerut dalam.

Aku tertawa miris sambil menggeleng.

"Gimana bisa lupa, kalau Mas sendiri masih aja terus mengingat-ngingat dia! Bahkan Mas sampai berkali-kali ganti akun cuma biar bisa mantau mantan Mas itu! Mas juga nggak malu kirim pesan-pesan puitis. Itu namanya apa, Mas? Apa?

Itu bukan Mas yang nggak bisa lupa, tapi emang Mas yang nggak niat buat ngelupain!" geramku, tapi masih berusaha menekan suara agar tak lagi membentaknya. Meskipun, dada ini bergemuruh hebat sampai tanganku gemetar menahan emosi.

"Kenapa Mas mau nikahin aku, kalau masih nggak bisa move on, hm? Pernikahan bukan untuk main-main, Mas. Jawab jujur! Kenapa dulu Mas datang melamarku, hm? Kenapa?"

Mas Aldi terdiam menunduk. Kedua tangannya mengepal kuat di samping badan. Akan tetapi, perlahan dia kembali menatapku sendu.

"Mas akan jujur, tapi kamu jangan marah."

Aku bungkam.

"Dulu, mas nikahin kamu memang bukan karena cinta. Tapi mas berharap keberadaan kamu bisa menggantikan posisi Lidya. Bisa bantu mas buat melupakan semuanya, tapi ternyata susah. Nggak gampang, Dek!"

"Oh, pelampiasan ternyata." Aku tertawa miris. "Mas jahat! Nggak seharusnya Mas menyeretku ke dalam pernikahan semu ini. Nggak seharusnya aku ikut merasakan sakit karena masa lalu kalian itu. Kalau emang Mas belum bisa move on, harusnya seumur hidup Mas nggak usah nikah! Jangan jadikan orang lain sebagai korban atas keegoisan Mas itu!"

"Dek!" Mas Aldi dengan cepat mencekal pergelangan tanganku yang hendak beranjak pergi. "Mas sedang berusaha, tapi butuh waktu lama. Tolong ... bersabarlah," lirihnya memohon.

"Sabar katamu, Mas? Kurang sabar apa aku selama ini, hm? Sudah dua kali aku kasih Mas kesempatan. Tapi Mas nggak bisa menjaga kepercayaan itu. Mas selalu ingkar!"

"Coba dipikir dengan kepala dingin, Dek. Di sini, bukan cuma kamu yang terluka, tapi mas juga! Kamu pikir mas mau terus-terusan terikat dengan masa lalu? Nggak! Tapi mas bisa apa? Bayangan masa lalu itu selalu hadir gitu aja mengganggu pikiran dan ketenangan mas, Dek! Tolong pahami itu!"

"Mas terluka karena ulah Mas sendiri. Berusaha melupakan itu nggak gini carany. Lebih baik, Mas kejar lagi mantan Mas itu dan ceraikan aku!"

"Dek!" bentak Mas Aldi, kemudian berdiri. "Semudah itu kamu bilang cerai?" Sorot matanya menatapku tajam.

"Ya! Semudah Mas menyakitiku berulang kali!" tegasku dengan tatapan berani.

Kami saling beradu tatap dalam diam. Sama-sama dikuasai emosi, tapi pada akhirnya, Mas Aldi mengalah. Dia menghela napas berat seraya menengadahkan wajahnya.

"Jangan bersikap seolah-olah Mas yang paling tersakiti!" sindirku melihat raut wajahnya itu. "Akulah yang paling tersakiti di sini, Mas, bukan kamu! Aku yang nggak tahu menahu masa lalu kalian, tapi harus terseret dan ikut merasakan sakitnya. Itu nggak adil!"

"Mas mohon ... satu kali kesempatan lagi, Dek. Kali ini mas nggak akan ingkar. Bantu mas lupain Lidya."

"Nggak!" Aku menggeleng yakin. "Harusnya, Mas buktiin itu dari awal Mas ngelakuin kesalahan, bukan setelah berulang kali seperti ini! Aku tetap mau bercerai!"

STATUS GALAU SUAMIKU Di FACEBOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang