08 - DAY TWO

71 70 10
                                    

08. Hari kedua di bulan Juni

🧚🧚🧚🧚🧚

"Tiga tahun aku memendamnya. Akankah ini suatu kesempatan untukku mendapatkan hatinya? Aku juga ingin dia merasakan kupu kupu beterbangan diperutnya, sama seperti yang aku rasakan kala mendengar tawanya, dulu. Biarlah saat ini, aku jadikan dia murid paling bahagia, sebelum menjadi manusia paling bahagia."

-Seanaska Abigail

🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️🧚‍♀️

"Astaghfirullah Rinjani itu bergadang berapa jam mata sampe hitam gitu?!"

Pagi pagi disuguhi omelan ayah, rasanya, ah mantap sekali. Ayah itu kalau ngomel udah ngalahin mama dulu. Kalau mama ya ngomel gitu gitu doang sih, kalau ayah nyinyir banget.

Eh, maaf yah...

"Nggak bergadang kok yah, cuma tidur agak maleman aja," jawab Rinjani sambil duduk lalu memakan roti bakarnya.

"Kamu pikir ayah nggak tau kamu ngelamun sampe jam tiga di balkon?"

Yah, ketahuan! Ayah tau darimana coba, kalau Rinjani ngelamun di balkon tadi malem? Emang ada cctv? Kan nggak mungkin banget ayah pagi pagi ngecek cctv? Kurang kerjaan banget!

"Mana ada sih Rin ngelamun di balkon. Salah kali ayah," bantah Rinjani kembali sibuk mengunyah roti bakarnya.

"Nggak boleh loh bohong ke orang tua,"

"Ih, siapa juga yang bohong!"

"Itu bawah mata kamu hitam gitu," beritahu ayah.

Rinjani memang termasuk cewek yang peduli sama penampilannya. Tapi, kalau soal tanda hitam dibawah mata akibat bergadang, sungguh, Rinjani tidak peduli.

Toh, Rinjani tetap akan mempesona dengan tanda hitam itu. Dia bakalan tetap jadi cantik.

"Dianter atau naik mobil?" tanya Ayah.

"Naik mobil."

"Itu kunci diatas kulkas," jawab ayah. Rinjani bangkit dari duduknya setelah menghabiskan satu gigitan terakhir pada roti bakarnya. Mengambil kunci mobil diatas kulkas.

Sepertinya memang harus Rinjani bongkar tuh gantungan tempat gantungin kunci. Kaya cuma jadi pajangan doang. Nggak dipake. Kunci kunci ditaruh diatas kulkas semua sama ayah.

"Ih nggak salim berdosa," papar ayah.

"Siapa juga yang nggak mau salim. Ini mau ambil pulpen dulu," sahut Rinjani berjalan menuju meja tv lalu mengambil sebuah pulpen dibelakang tv. Rinjani kalau pulang sekolah suka lupa masukin pulpen ke tas. Alhasil dia pegang aja tuh pulpen, terus sampe rumah diletakkan dibelakang tv.

"Alasan aja!"

"Ih, kan suudzon aja!"

Rinjani berjalan mendekat pada ayah. Menyalim tangan ayah, tak lupa mengecup kedua pipi ayah. Setelahnya dia berjalan dengan sedikit berlari keluar rumah.

"Fika, sayang, Rinjani anak kita, sudah remaja. Dan sekarang, aku semakin takut gagal mendidiknya."

Ayah, serapuh itu dibelakang Rinjani. Rinjani tau, Fika, Ibunya, tak akan pernah tergantikan. Dan setelah mendengar seruan ayah yang lirih tadi, Rinjani merasa, tidak ingin membuat ayahnya gagal dalam mendidiknya.

🧚🧚🧚🧚🧚

Rinjani mengendarai mobilnya dengan pikiran bercabang cabang. Hal hal baru yang dia dapatkan di Ibukota ini membuatnya bingung. Dia tidak terbiasa.

RINJANITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang