16. Abai

218 45 2
                                    

Jangan lupa vote + comment ya💕

.
.
.
.
.

Semakin lama didiamkan, semakin jauh juga jarak yang terbentang antara Echa dan Vano

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semakin lama didiamkan, semakin jauh juga jarak yang terbentang antara Echa dan Vano. Kalau boleh dibilang, sebagai orang yang memilih bungkam dalam jarak hubungan antar kedua kakaknya itu, Jovandra merasa turut prihatin karena tak pernah melihat keduanya tak memiliki interaksi untuk waktu yang bisa dikatakan cukup lama seperti sekarang. Bukan Jovandra yang memutuskan untuk bersikap acuh atas hubungan keduanya, melainkan Vano sendirilah yang meminta lelaki itu untuk tidak terlibat, demi kenyamanan masing-masing, katanya. Jovandra yang pada dasarnya tidak mengerti alur pikiran Vano pada akhirnya hanya mendengus sebal tapi juga tetap mengangguk mematuhi.

"Ngenes banget." Gumam Jovandra begitu memasuki ruangan Vano. Lelaki itu memilih datang berkunjungke kantor Vano seusai kelas terakhirnya.

Jovandra meletakkan tasnya disofa, ikut menyamankan diri dengan menyandarkan punggungnya dikursi empuk itu. "Kayaknya patah hati bisa bikin kinerja manusia meningkat pesat ya bang?"

Vano menelisik ke arah tempat lelaki itu duduk. Jemarinya yang semula sibuk menulis turut berhenti begitu ucapan sarkas Jovandra mengetuk gendang telinganya dengan keras.

Bukan bermaksud mengejek, tapi itulah kenyataan yang Jovandra lihat sekarang. Vano bahkan masih setia duduk disinggasananya, meneliti tiap dokumen demi dokumen disaat banyak dari karyawannya sudah memutuskan untuk kembali ke tempat ternyaman masing-masing. Tapi Vano? Bahkan pukul sudah menunjuk angka tujuh, dan lelaki itu masih berada diruangan berukuran 4x6 ini untuk menyelesaikan masalah perusahaan yang padahal Jovandra yakini yang memiliki masalah adalah hati lelaki itu.

"Kapan lu nyampe?"

"Baru aja."

"Kok gue nggak denger?"

"Gimana mau denger? Raga dimari, tapi jiwanya ngawang ke tempat lain."

"Ngawang gimana? Lu nggak liat gue lagi nulis-"

"Laporan apaan yang lu tulis bang? Isinya nama teteh doang." Jovandra berdecak sebal, lain halnya dengan Vano yang justru memeriksa kertas yang ia tulis sedari tadi sudah penuh dengan tulisannya yang nampak begitu berantakan dan tepat saja, banyak nama Echa dan seruan maaf disana. Pantas saja Jovandra mengkritiknya dengan sangat kejam.

"Kalo kangen mah bilang aja. Ngegedein ego mulu, heran."

"Gue nggak ngegedein ego ya. Kan udah gue bilang ini tuh demi kebaikan masing-masing juga."

Jovandra menghela nafas jengah. Benar kata Sella, membicarakan urusan hati dengan Vano itu benar-benar harus menyiapkan kesabaran ekstra. Jika tidak, mungkin lelaki itu akan benar-benar terpanggang oleh emosinya sendiri lantaran Vano selalu menemukan cara untuk membantah pernyataan lawannya. Tak heran sih sebenarnya, bagaimanapun Vano memiliki gelar pendebat ulung sejak dulu, makanya tidak heran lelaki itu bisa menyelesaikan double-degree dijurusan manajemen dan hukum sekaligus, dia pasti sudah sangat terlatih untuk mendebat dosennya dan membuat mereka setuju dengan segala teori yang lelaki kemukakan, sama seperti bagaimana ia selalu berhasil memutar kata-kata orang-orang disekitarnya dan membuat mereka pada akhirnya mengikuti apa yang lelaki itu katakan.

Geotesha || KTH•SSWTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang