Tangan Echa menutup laptop yang sejak tadi ia pandangi, berusaha mendistraksi dirinya dari segala kegundahan hati dengan menyibukkan diri bersama pekerjaan yang ia minta paksa dari Jovandra. Helaan nafas keluar dari bibir ranum yang akhir-akhir ini lebih sering tertekuk turun itu, bukannya fokus bekerja, Echa malah termenung lebih lama. Bahkan seperempat halaman dokumen pun tak bisa ia baca dengan serius sama sekali.
Jovandra benar, percuma bekerja dengan kondisi seperti ini. Harusnya dia terima saja tawaran Sella untuk pergi berbelanja, mungkin tidak akan membuat wanita itu kehilangan kesedihannya, tapi setidaknya itu akan membantu untuk sekedar menjernihkan pikirannya yang sudah terkontaminasi oleh sosok masa lalu yang begitu menghancurkannya.
"Van." Echa memasuki ruang santai, mendekati Vano yang kini tengah tertidur lelap, sepertinya kelelahan karna harus menjaga bayi kembarnya. "Vano." Echa menyentuh lengan Vano, menggoyangkannya beberapa kali hingga akhirnya lelaki itu menyahuti panggilan Echa dengan mata yang terpejam rapat.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Ayo keluar." Echa kembali menggoyangkan lengan lelaki itu. Berusaha memanggil Vano untuk bangun dari alam mimpinya.
Vano yang masih dalam tahap mengumpulkan nyawa itu akhirnya mengambil posisi duduk. Dilihatnya Echa yang tengah sibuk memindahkan si kembar ke keranjang bayi. Kakinya melangkah mendekat, memeluk Echa dari belakang.
"Kenapa?" Echa yang terkesiap akan sikap Vano tak langsung bersuara. Wanita itu akhirnya berdehem, mengembalikan suara yang sebelumnya tercekat ditenggorokan.
"Gue nggak bisa tidur." Ucapnya agak terbata karena detak jantungnya yang kini bergebu tidak normal. Echa bida merasakan Vano mengangangguk. Tangannya tak lagi memeluk Echa karena lelaki itu sudah berjalan ke arah kamar mandi.
Echa menghela nafas, mengibas tangannya didepan wajah yang terlihat memerah. Entah kenapa akhir-akhir ini ia merasa cuacanya tiba-tiba terasa sangat panas.
. . . . .
Vano menyampirkan selimut kecil dipundak Echa, menutupi lengan wanita itu yang nampak menggigil karna udara malam yang dingin. Menarik kursi ke sisi Echa, Vano segera mengambil posisi nyaman. Tangannya yang bebas mengarahkan kepala Echa untuk bersandar ke bahunya.
"Bisa kerja nya?" Merasa disindir, Echa memanyunkan bibirnya, menggeleng sebagai tanda jawaban jika semua yang ia coba kerjakan hari ini nampak sia-sia.
Vano terdengar terkekeh. "Bandel sih. Kan Jo juga udah bilang percuma."
Echa tak menjawab. Terlalu gengsi untuk berkilah agar dirinya merasa baik-baik saja saat Vano sudah menyindirnya seperti ini.
Hening sesaat. Baik Echa maupun Vano tak ada lagi yang memulai percakapan. Keduanya sibuk menikmati sunyi dibawah indahnya temaram cahaya bintang yang bersinar terang dimalam itu. Vano yang biasanya akan mencairkan suasana pun lebih memilih diam, membiarkan Echa mengambil jeda demi ketentraman jiwa dan hatinya yang akhir-akhir ini diguncang habis-habisan oleh masa lalu brengsek yang datang tanpa tahu malu.